Thursday, November 6, 2008

Akibat Stress Kerja

Stress Akibat Kerja Yang Dihadapi
Oleh Guru Sekolah Luar Biasa

Abstrak: Setiap pekerjaan yang dilakukaan oleh seseorang dapat memberikan beban tersendiri bagi pelakunya, baik beban fisik, mental, maupun sosial. Di antara profesi yang ada, guru sekolah luar biasa, yaitu sekolah bagi penyandang kelainan/cacat, merupakan salah satu profesi yang rawan stress. Hal ini disebabkan oleh interaksinya dengan pekerjaan dan/atau lingkungan kerja yang kerapkali tidak kondusif. Agar stress akibat kerja yang dialami oleh guru sekolah luar biasa tersebut tidak berdampak negatif, bahkan berubah menjadi bersifat positif, secara intern perlu adanya upaya pengendalian secara intensif. Dari sisi eksternal, disarankan agar dilakukan upaya sistematis untuk mengeliminasi potential stressor di lingkungan kerjanya, seperti: (1) memberikan kesempatan kepada guru sekolah luar biasa untuk melakukan refreshing fisik dan mental; (2) memberikan tambahan insentif secara khusus sebagai bentuk kompensasi atas besarnya beban kerja; dan (3) menciptakan iklim lingkungan kerja yang kondusif melalui penyediaan keperluan atau fasilitas yang diperlukan.

Kata kunci: stress, potential stressor, Guru, sekolah luar biasa, lingkungan kerja.


1. Pendahuluan

Dalam hubungannya dengan pekerjaan atau profesi yang ditekuni, setiap orang memiliki kemampuan berbeda untuk menyangga beban pekerjaannya. Di antara mereka barangkali ada yang cocok untuk beban fisik, mental, atau sosial atas pekerjaan yang ditekuni. Apapun jenis dan namanya pekerjaan, secara umum mereka hanya mampu memikul beban sampai suatu batas tertentu, bahkan ada beban yang dirasa optimal bagi seseorang untuk dapat memikulnya, namun bagi yang lain sebaliknya.

Berangkat dari pemikiran inilah maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat, dalam arti derajat ketepatan suatu penempatan, meliputi kecocokan basis pengetahuan dan pengalaman, keterampilan, minat, motivasi dan lain sebagainya atas pekerjaan yang ditekuni. Semakin tinggi pemilikan kemampuan prasyarat kerja yang dimiliki, semakin efisien dan efektif badan dan jiwanya bekerja, sehingga beban kerja yang dirasakan menjadi relatif ringan. Pada gilirannya angka sakit dan mangkir kerja dapat ditekan seminimal mungkin, terlebih lagi jika mereka memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi.

Interaksi manusia sebagai pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerja dapat menyebabkan efek positif kepada pekerja, atau efek yang sebaliknya. Pekerjaan dan lingkungan kerja yang sehat dan kondusif dapat memberikan efek positif, sedangkan pekerjaan dan lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak kondusif dapat berpengaruh negatif kepada pekerja. Bahkan tak jarang kondisi tersebut mengakibatkan gangguan kesehatan. Oleh karena itu, pekerjaan dan lingkungan kerja yang dapat memberikan efek negatif sedapat mungkin dieliminasi atau dihindarkan, sebab penyakit akibat dari suatu pekerjaan secara langsung atau tidak langsung dapat menyebabkan gangguan psiko-fisiologis (Suma'mur, 1976), mulai dari rentangan ringan hingga berat. Padahal, kondisi tersebut jika mau dapat dicegah, asal terdapat kemauan yang kuat untuk melaksanakan upaya-upaya preventif.

Indikator tingkat kesehatan pekerja dapat disimak pada kesegaran jasmani dan rohani sebagai status kesehatan. Kesegaran jasmani dan rohani sebagai unsur penunjang yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas seseorang dalam kerjanya. Kesegaran tersebut dimulai sejak pekerja memasuki pekerjaan dan terus dipelihara selama bekerja. Kualifikasi kondisi ini tidak saja sebagai pencerminan kesehatan fisik dan mental, tetapi sekaligus merupakan gambaran keserasian penyesuaian seseorang dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya, meskipun secara internal banyak dipengaruhi oleh kemampuan, pengalaman, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki.

Guru sekolah luar biasa adalah salah satu profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya penanganan peserta didik penyandang cacat/ketunaan, baik secara fisik dan/atau mental (Kirk, 1970). Dalam menjalankan kegiatan profesionalnya, mereka sangat rawan stress. Kondisi ini dipicu karena interaksinya dengan pekerjaan, yang seringkali mendatangkan perasaan konflik atas apa yang dilakukan dengan hasil yang diharapkan, dalam arti aktivitas yang dilakukan secara kasat mata seringkali terjadi kontraproduktif.

Contoh, seorang guru sekolah luar biasa bagian C (tunagrahita) yang ingin mengajarkan konsep dasar operasi bilangan kepada peserta didik penyandang lemah mental (mental retardation). Untuk menanamkan konsep operasi bilangan 1 s/d 20 misalnya, pada anak normal barangkali cukup diperlukan waktu sekitar 1-2 minggu untuk menjelaskan operasionalisasinya secara tuntas. Namun, tidak demikian halnya bagi peserta didik yang menyandang keterbelakangan mental, waktu yang diperlukan bisa mencapai 2 sampai 3 bulan, atau bahkan lebih, itu pun hasilnya tidak dijamin permanen menetap dalam memorinya. Tambahan lagi, mereka harus mengajarkan materi-materi lain yang tak kalah sulitnya untuk dapat dipersepsi dengan baik oleh peserta didik.

Atas dasar kenyataan tersebut, bukan suatu hal yang mustahil jika pada kurun waktu tertentu muncul stress, karena apa yang dikerjakan nampak sia-sia alias tidak menghasilkan sesuatu yang berarti bagi dirinya maupun orang lain. Terlebih lagi, jika kondisi ini dibarengi dengan faktor eksternal lainnya, seperti imbalan yang kurang memadai dibandingkan dengan pengorbanan yang diberikan, kurang mendapat penghargaan, tuntutan pengembangan diri kurang, situasi lingkungan kerja yang kurang kondusif dan lain-lainnya. Semakin banyak tuntutan yang tidak terpenuhi, semakin meningkat kualitas stress yang dihadapi oleh seseorang yang berprofesi sebagai guru sekolah luar biasa?

Berangkat dari pemikiran tersebut, agar dampak stress yang dialami oleh guru sekolah luar biasa tidak berlarut-larut, upaya pengendalian yang perlu dilakukan sejak dini atas kondisi tersebut, agar beban atas pekerjaan yang diembannya tidak dirasakan sebagai hambatan dalam konteks pengembangan diri dan profesi, tetapi justru sebaliknya.


2. Kajian Literatur dan Pembahasan Konsep

2.1 Mekanisme Stress Akibat Kerja

Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, secara implisit hampir setiap pekerjaan selalu memiliki “agen stress” yang potensial, dan masing-masing jenis pekerjaan memiliki variasi tingkatan stressornya. Pada umumnya, stress pada pekerja terjadi karena interaksi pekerja dengan pekerjaan atau lingkungan kerja, yang ditandai dengan penolakan diri sehingga terjadi penyimpangan secara fungsional. Dengan kata lain, stress merujuk pada kondisi internal individu untuk menyesuaikan diri secara baik terhadap perasaan yang mengancam terhadap kondisi fisik dan atau psikis (Miner, 1992), atau label untuk gejala psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan atau hal lain yang sejenis (Niven, 2000). Dalam kaitannya dengan pekerjaan, Smet (1994) secara spesifik menjelaskan bahwa stress kerja sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan kerja, sehingga menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial.

Stress dengan berbagai dimensinya menurut Sarafino (1990) dapat dikonseptualisasikan dalam berbagai sudut pandang, diantaranya: (1) stress dipandang sebagai suatu stimulus atau variabel bebas yang mempengaruhi keberadaan individu, (2) stress dipandang sebagai respon atau variabel tergantung, serta (3) stress merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan (Smet, 1994).

Sudut pandang stress sebagai stimulus dapat digambarkan bahwa stress itu berasal dari lingkungan. (Lihat Gambar 1). Kejadian atau peristiwa yang muncul di lingkungan (stressor) dapat menimbulkan perasaan tidak enak atau tegang, cemas, dan lain-lainya yang dapat menjadi bencana besar dalam kehidupan seseorang. Hipocrates pada awal abad XV sebelum masehi menilai bahwa karakteristik kesehatan dan penyakit dikondisikan oleh lingkungan eksternal (Sutherland & Cooper, 1990). Menurut model ini, bila individu secara terus menerus bertemu dengan sumber stressor yang potensial, kemungkinkan akan terjadi perubahan keseimbangan dalam individu tersebut. Contoh sumber stressor yang potensial tersebut adalah fasilitas penunjang pekerjaan yang minim, kondisi pekerjaan yang tidak baik, dan situasi lingkungan yang tidak memuaskan (tekanan di lingkungan kerja). Perbedaan individual, tingkat toleransi, dan harapan-harapannya tetap menjadi pertimbangan sendiri.

Gambar 1 Stress sebagai Suatu Stimulus
(diadaptasi dari Sutherland & Cooper, 1990)

Sudut pandang stress sebagai respons digambarkan dengan bagaimana reaksi individu tersebut terhadap stressor. (Gambar 2). Contoh, seseorang merasa stress jika disuruh berbicara di muka umum. Sedikitnya ada dua respon yang muncul pada individu tersebut, yaitu respons fisiologis dan respons psikologis. Respon fisiologis akibat masuknya stressor kepada individu menimbulkan rangsang fisik seperti detak jantung meningkat, lidah terasa keluh, perut mules dan ingin ke belakang, dan lain-lainnya. Respon psikologis akibat masuknya stressor kepada individu menimbulkan salah tingkah, pikiran kalut, emosinal, dan perasaan stress. Respon fisiologis dan psikologis pada individu terhadap stressor disebut strain (ketegangan).

Gambar 2 Stress sebagai Suatu Respons
(diadaptasi dari Sutherland & Cooper, 1990)

Sudut pandang stress sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan dapat dijelaskan. Stress merupakan suatu proses yang meliputi stressor dan strain dalam dimensi hubungan antarindividu dengan lingkungan, dan saling mempengaruhi. Stress dalam konteks ini tidak hanya dipandang sebagai stimulus dan respons saja, melainkan menjadi suatu proses dimana seseorang sebagai perantara yang aktif untuk mempengaruhi stressor melalui strategi perilaku kognitif dan emosional. Contoh, penumpang menunggu kedatangan kereta api yang terlambat (stressor). Reaksi stress diantara para penumpang tentu akan berbeda, ada yang terus-menerus melihat jam tangan barangkali takut terlambat di tempat tujuan, ada yang tenang-tenang saja menikmati musik instrumentali yang diputar lewat pengeras suara, serta ada pula yang memandang keterlambatan kedatangan kereta api menjadi berkah bagi sepasang kekasih untuk berlama-lama berbagi rasa, dan lain-lainnya.

Mekanisme stress, menurut Hans Selye yang menggunakan kajian secara medis tentang respon psikologis terhadap reaksi perlawanan dalam tubuh , merupakan the nonspecific response of the body to any demand made on it (Miner, 1992, Porth, 1998), yang kemudian dikenal dengan general adaption syndrome (GAS) atau sindrom adaptasi umum (Helman, 1990; Niven, 2000). Ada beberapa reaksi yang terjadi dalam mekanisme ini. Reaksi pertama terjadi adalah situasi "respon lari atau lawan." Pada fase ini tubuh menyiapkan diri untuk menghadapi bahaya dengan salah satu atau dua cara yang ditawarkan, yakni melawan atau melarikan diri. Perubahan fisiologis yang diperlukan untuk melawan atau melarikan diri adalah sama. Hipotalamus di otak mengisyaratkan kelenjar adrenalin untuk dilepaskan ke dalam aliran darah, sehingga denyut jantung meningkat dan pernafasan menjadi lebih dangkal. Darah mengalir dari kulit dan visera (jantung, paru, hati dan seterusnya) ke otot dan otak yang mengambil makanan. Gula darah disuplai ke bagian tubuh yang memerlukan energi ekstra untuk merespon terhadap bahaya. Hal ini berarti otot telah melakukan tindakan melawan atau melarikan diri. Akibat dari redistribusi ini maka wajah seseorang nampak pucat, telapak tangan-kaki menjadi dingin, nampak cemas dan gugup. Secara fisiologis, orang yang wajahnya memutih lebih siap untuk melawan (karena darah didistribusikan kembali ke otot-otot yang semestinya).

Reaksi yang kedua adalah memudar dan menghilangnya reaksi khawatir mulai, sehingga tubuh tampak kembali normal. Pada saat itu yang dirasakan adalah kita telah mengatasi stress secara memuaskan. Namun, jika stressor bertahan maka tubuh sebenarnya melawan secara aktif untuk sementara waktu. Jika tubuh tetap berada dalam tekanan, maka tidak mustahil akan muncul gejala-gejala baru. Gejala ini sama dengan yang terlihat pada reaksi khawatir, yang akibatnya tubuh menjadi semakin rentan terhadap penyakit dan disfungsi organik. Kebahagiaan dan kekecewaan mendadak dapat menyebabkan perubahan formulasi yang sama terhadap timbulnya stress.

Indikasi stress akibat kerja pada manusia dapat diidentifikasi pada pola perilaku yang nampak, seperti: gangguan adaptasi, gangguan fungsi fisiopsikologi, dan gangguan somato form. Gangguan adaptasi adalah gangguan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, depresi, gangguan emosi, sukar konsentrasi, sukar tidur dan sebagainya. Gangguan fisiopsikologi, yaitu gangguan kondisi fisik yang sangat terkait dengan psikologis (psikosomatis), seperti gangguan lambung dan usus (gastroenteritis), radang kulit (dermatitis), luka selaput lendir atau permukaan kulit (ulkus), gangguan sistem endokrin, tekanan darah, sembelit (obstipasi), diare, sering buang air, dan sebagainya. Gangguan somato form adalah gangguan pada aspek fisik tanpa ditemukan gangguan organ-organ fisiologi yang mendasar, meskipun terdapat bukti positif.

2.2 Penyebab dan Efek Stress Akibat Kerja

Dalam hubungannya dengan pekerjaan, setiap orang pasti pernah mengalami stress. Adakalanya stress yang dialami seseorang itu adlah kecil dan hampir tak berarti, namun bagi yang lainnya dianggap sangat mengganggu dan berlanjut dalam waktu yang relatif lama. Faktor yang berpotensi menimbulkan stress adalah: pertama, karena tuntutan kerja; dan kedua, tanggung jawab bagi kehidupan manusia (Smet, 1994). Secara ekonomi, 60–80% dari semua biaya pemeliharaan kesehatan dipusatkan pada gejala yang berkaitan dengan stress (Compernalle, 1989 dalam Smet, 1994). ILO mencatat tidak kurang dari US $ 200 milyar biaya produksi dikurangi untuk klaim kompensasi pekerja, absentisme, asuransi kesehatan, dan ongkos medis (Jakarta Post, 1993).

Berat-ringannya stress akibat kerja yang dialami seseorang tergantung pada tiga hal, yaitu: (1) stressor atau sumber stress itu sendiri, dalam hal ini rangsangan yang dirasakan sebagai ancaman atau yang dapat menimbulkan perasaan negatif; (2) frekuensi atau lama terpapar terhadap stressor, dan (3) intensitas reaksi fisik dan emosi yang disebabkan oleh stressor (Miner, 1992).

Dilihat dari muaranya, faktor-faktor yang potensial menjadi sumber stress secara umum dapat diklasifikasikan menjadi faktor internal (individu yang bersangkutan) dan faktor eksternal (lingkungan rumah, sosial maupun tempat kerja). Dalam kaitan tersebut, Davidson dan Coper (1981) menjelaskan: "... special emphasis will also be placed on specific potential stressors in the work environment, underutilization of abilities, underload of boredom, work overload, role conflict, unequity of pay, job future ambiguity, relationship and work, equipment and danger."

Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, stress yang dialami guru sekolah luar biasa dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut. Pertama, pengaruh shift pekerjaan. Di beberapa lembaga pendidikan bagi peserta didik penyandang cacat di kota besar, rasio siswa yang dibina dengan fasilitas yang tersedia seringkali tidak seimbang, artinya jumlah siswa yang ada tidak sebanding dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Untuk lembaga yang kelebihan jumlah murid, terpaksa pihak pengelola harus membagi waktu belajar menjadi beberapa shift. Penempatan guru pada shift tertentu, terutama siang atau sore hari, seringkali berpengaruh terhadap kualitas layanan guru yang diberikan kepada siswa, terlebih lagi jika diluar jam mengajar resmi mereka harus melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi beban tambahan. Hasil survei Stellman & Daum (1973) terhadap sejumlah pekerja diketahui bahwa 48% dari reponden, yang adalah guru, menyatakan bahwa kerja shift sangat mempengaruhi gangguan kesehatan dan kehidupan sosialnya.

Kedua, optimalisasi pemanfaatan kemampuan. Selintas, apa yang dilakukan oleh guru sekolah luar biasa dalam mengajarkan sejumlah pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didiknya tidak membutuhkan pemikiran dan persiapan yang ruwet sebagaimana sekolah normal lainnya. Sebab selain jumlah siswanya yang terbatas (biasanya antara 5 - 8 orang dalam satu kelas) bahkan bisa kurang, materi yang diberikan rata-rata di bawah standar anak normal untuk usia kalender yang sama. Berdasarkan kenyataan ini, jika guru sekolah luar biasa tidak mampu menjaga sinergi yang dimiliki terasa sangat membosankan bekerja melayani peserta didik penyandang cacat, sebab pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sulit ditransfer secara optimal kepada siswanya, sehingga menimbulkan perasaan jenuh dan tak berguna. Hasil penelitian tentang efek tuntutan dan pengambilan keputusan menunjukkan bahwa 20% penderita penyakit jantung berasal dari kelompok yang punya tuntutan pekerjaan tinggi dan kebebasan mengambil keputusan rendah (Smet, 1994).

Ketiga, kelebihan beban kerja. Sesuai dengan karakteristik peserta didik yang diasuhnya, tugas guru sekolah luar biasa dituntut tidak hanya mampu mengajarkan sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang selaras dengan potensi dan karakteristik peserta didiknya, melainkan juga harus mampu bertindak atau berperan seperti paramedis, terapis, social worker, konselor dan administrator. Sebagai paramedis, mereka harus senantiasa mengikuti perkembangan kondisi fisiologis kelainan yang disandang siswa. Untuk itu, mereka setiap saat harus membuat revieu kesehatan siswa untuk kepentingan perlakuannya. Sebagai terapis, mereka senantiasa harus siap setiap waktu untuk melakukan kegiatan yang memiliki unsur-unsur terapi seperti play therapy, speech threapy, occupational therapy, physiotherapy, dan lain-lainnya, baik secara terpisah maupun terintegrasi dengan pelajaran. Sebagai konselor atau pekerja sosial, mereka harus berusaha memberikan bimbingan terus menerus kepada siswa agar mereka dapat menerima kecacatan yang disandangnya, termasuk di antaranya memberikan pengertian kepada orang tua, keluarga dan masyarakat. Sebagai administrator, mereka dituntut untuk memberikan laporan tertulis kepada pimpinannya mengenai program kerja dan realisasi kegiatan yang dilaksanakan (harian, minggu, atau bulanan). Konsekuensi seseorang yang bekerja terlalu banyak, keras, lembur atau muatan kerjanya yang berlebih dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan atau masalah-masalah kesehatan (Sarafino, 1990).

Keempat, konflik peranan. Seperti diuraikan sebelumnya, guru sekolah luar biasa seringkali dihinggapi konflik peran. Di satu sisi mereka harus bertugas sebagai guru yang mengajarkan sejumlah pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu kepada siswa, akan tetapi di sisi lainnya kerapkali mereka harus menjalankan fungsi lain di luar mengajar, sehingga sulit untuk menetapkan satu pilihan. Walaupun dalam petunjuk teknis penyelenggaraan pendidikan luar biasa dijelaskan bahwa untuk penanganan secara teknis di luar mengajar dapat ditangani oleh tenaga profesional lain yang kompeten seperti konselor, paramedis, psikolog, dokter, social worker, dan terapis-terapis lainnya, namun dalam realitanya hanya sebagian kecil sekolah luar biasa yang mampu memenuhi tuntutan tersebut, khususnya sekolah-sekolah yang sudah mapan secara fisik dan finansial, sedangkan sebagian besar lainnya masih mengandalkan guru-guru sekolah luar biasa untuk menjalankan tugasnya yang multiperan sebagaimana disebut di atas. Peran dan tanggung jawab pekerjaan guru sekolah luar biasa yang tak jelas inilah yang kerapkali menimbulkan stress (Sutherland & Cooper, 1990; Smet, 1994).

Kelima, ketimpangan dalam pengupahan. Sebagian besar dari guru-guru sekolah luar biasa yang mengajar di sekolah negeri atau swasta adalah pegawai negeri sipil yang diangkat pemerintah. Karenanya, hak dan kewajibannya mengikuti aturan sebagaimana yang ditetapkan untuk pegawai negeri sipil lainnya, baik dari segi karir maupun penggajian. Padahal, beban pekerjaan yang harus diemban guru sekolah luar biasa adalah jauh lebih berat dibandingkan dengan beban pekerjaan yang harus diemban guru sekolah biasa, baik beban fisik, mental maupun moral. Selain itu, untuk menjadi guru sekolah luar biasa, tidak cukup hanya mempunyai pendidikan formal dan kecakapan tertentu, melainkan juga mereka harus memiliki idealisme dan integritas kepribadian yang dapat dipertanggungjawabkan. Kurangnya pengakuan terhadap prestasi kerja berpotensi menimbulnya perasaan stress (Sarafino, 1990).

Keenam, status profesi. Keputusan untuk menjadi guru sekolah luar biasa bagi seseorang bukan merupakan pilihan yang dapat diputuskan dalam waktu relatif singkat, melainkan perlu internalisasi perenungan yang mendalam terhadap profesi tersebut. Hal ini dikarenakan: (1) beban kerja yang harus dilaksanakan seringkali melampui tugas guru umumnya, (2) standar imbalan yang diterima sama seperti pegawai negeri lainnya, (3) persyaratan mental yang dibutuhkan lebih berat jika dibandingkan dengan guru sekolah normal, (4) penghargaan terhadap guru sekolah luar biasa masih rendah, karena masih banyak kelompok masyarakat yang memandang bahwa profesi sebagai guru sekolah luar biasa kurang memiliki prestise yang patut dibanggakan. Hal ini semua berpotensi menimbulkan stress (Sutherland & Cooper, 1990; Smet, 1994). Karenanya, hanya orang-orang yang "lolos seleksi panggilan hati nurani" sajalah yang akan mengabdikan pilihan hidupnya sebagai guru sekolah luar biasa.

Ketujuh, perangkat atau fasilitas pendidikan. Menanamkan pengetahuan kepada peserta didik penyandang cacat adalah bukan pekerjaan mudah. Contoh, untuk mengajarkan kata-kata abstrak seperti: angin, timur, mimpi, dosa, hantu, dan lain-lain pada anak tunarungu diperlukan media yang relevan agar mudah dipahami, baik melalui peragaan atau demonstrasi dengan alat pelajaran, dan bahkan hampir semua pelajaran membutuhkan alat pelajaran yang relevan dengan materi. Jika alat pelajaran tersebut dipenuhi oleh lembaga, tidak ada masalah; namun bila hal itu tidak memungkinkan, tidak jarang guru-guru harus mengusahakan sendiri melalui swadana atau swakarsa. Belum lagi jika mereka harus melakukan tugas lain seperti: speech building, speecd training, speech correction, hear training yang harus diintegrasikan dalam pengajaran untuk peserta didik penyandang tunarungu. Untuk itu, mereka harus kreatif mengusahakan perangkat khusus untuk menunjang kegiatan tersebut.

2.3 Manajemen Stress Akibat Kerja

Stress akibat kerja merupakan kondisi yang muncul akibat interaksi seseorang dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya. Stress ditandai dengan perubahan pada diri seseorang yang memaksa mereka menyimpang dari fungsinya secara normal (Luthans, 1995). Memang tidak selamanya stress berdampak negatif pada penderitanya, dan bahkan dapat pula berdampak positif. Semua itu tergantung pada kondisi psikologis dan sosial seorang guru, sehingga reaksi terhadap setiap kondisi stress sangat berbeda. Contoh dampak stress kerja yang bersifat positif, antara lain, adalah motivasi diri, rangsangan untuk bekerja keras, dan timbulnya inspirasi untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan, dampak stress kerja yang bersifat negatif dapat digolongkan ke dalam kategori subyektif seperti kecemasan, acuh, agresif, bosan, depresi, gugup, dan terisolir); kategori perilaku seperti penyalahgunaan obat/narkoba, reaksi meledak-ledak, merokok berlebihan, dan alkoholik; kategori kognitif seperti ketidakmampuan mengambil keputusan secara jelas, sulit konsentrasi, peka kritik, dan rintangan mental; kategori fisiologis dan kesehatan sepeprti meningkatnya kadar gula, denyut jantung, tekanan darah, tubuh panas dingin, meningkatnya kolesterol, dan lain-lain; dan ketgori organisasi seperti ketidakpuasan kerja, menurunnya produktivitas, dan keterasingan dengan rekan sekerja.

Agar stress akibat kerja yang dialami oleh guru sekolah luar biasa tidak berdampak negatif sebagaimana diuraikan di atas, perlu adanya upaya secara intensif untuk pengendaliannya. Akan lebih baik lagi jika dampak stress tersebut diubah menjadi bersifat positif. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya tertentu, baik secara individual maupun organisatoris.

Upaya-upaya yang bersifat individual ini dapat dilakukan dengan membuat daftar kegiatan yang harus diselesaikan dalam menentukan urutannya berdasarkan skala prioritasnya, modifikasi perilaku, memilih filsafat hidup yang tepat, mengelola waktu secara baik. Khusus untuk waktu-waktu senggang sebaiknya dimanfaatkan untuk relaksasi atau latihan fisik yang bersifat rekreatif, seperti; meditasi, jalan sehat, jogging, renang, lintas alam, bersepeda, dan lain-lain.

Upaya-upaya yang bersifat organisatoris sangat erat terkait dengan bidang pekerjaan yang ditekuni. Oleh karena itu, penempatan kerja sesuai dengan kemampuannya, menspesifikasi tujuan dan antisipasi hambatan, meningkatkan komunikasi organisasi secara efektif untuk membentuk persepsi yang sama terhadap tujuan pekerjaan, menghindari ketidakpastian peran, penciptaan iklim kerja yang sehat, restrukturisasi jabatan/pekerjaan, dan training/upgrading pengembangan profesi merupakan upaya yang konstruktif untuk meminimalkan terjadinya stress kerja. Upaya-upaya lainnya adalah penyediaan fasilitas fisik, klinik mental, dan bimbingan peningkatan tanggung jawab, yang semuanya ini merupakan langkah positif bersifat organisatoris untuk menghindari terjadinya stress akibat kerja di lingkungan guru sekolah luar biasa.


3. Simpulan dan Saran

3.1 Simpulan

Stress pada dasarnya dapat dialami oleh siapa saja, kapan saja, di mana saja, tanpa memandang pangkat, derajat, dan tempat, termasuk seseorang yang berprofesi sebagai guru sekolah luar biasa. Pada guru sekolah luar biasa, reaksi stress yang ditampilkan memiliki karakteristik yang spesifik, yang terkait dengan stressor eksternal guru sekolah luar biasa. Sebagaimana dalam juklak penyelenggraaan Sekolah Luar Biasa yang dikeluarkan Dirjen Dikdasmen, idealnya sebuah sekolah luar biasa selain memiliki tenaga guru, juga harus memiliki tenaga penunjang non guru, seperti dokter (umum atau spesialis), psikolog, konselor, pekerja sosial, perawat, dan tenaga terapis lainnya (speech therapist, physiotherapist, occupational play therapist, dan lain-lainnya). Namun, tenaga-tenaga non guru sebagaimana yang dimaksudkan tidak/jarang dipenuhi oleh sebagian besar sekolah luar biasa di Indonesia. Akibatnya, teepaksa guru berperan ganda di luar tugas pokoknya sebagai orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Hal inilah yang kerapkali memicu terjadinya reaksi stress di kalangan guru sekolah luar biasa. Kondisi ini kian memburuk manakala kelebihan beban kerja, ketimpangan penggajian, penghargaan profesi, dan lingkungan kerja yang kurang kondusif tidak segera mendapatkan perhatian yang serius.

3. 2 Saran

Upaya sistematis yang dapat dilakukan untuk meminimalkan timbulnya reaksi stress pada guru sekolah luar biasa adalah mengeliminasi potential stressor di lingkungan kerjanya. Berkaitan dengan hal itu, disarankan: (1) memberikan kesempatan kepada guru sekolah luar biasa untuk melakukan refreshing fisik dan mental lewat kegiatan pelatihan atau lokakarya yang terkait dengan pengembangan diri dan profesi; (2) memberikan tambahan insentif secara khusus sebagai bentuk kompensasi atas besarnya beban kerja yang dilakukan oleh guru sekolah luar biasa; dan (3) menciptakan iklim lingkungan kerja yang kondusif melalui penyediaan keperluan atau fasilitas yang diperlukan oleh guru sekolah luar biasa untuk melakukan relaksasi, agar dapat mengurangi kejenuhan atau kebosanan rutinitas kerja.


Pustaka Acuan

Davidson & Coper. 1981. Model Occupational Stress. London: Journal of Medicine.

Helman. 1990. Culture, Health & Illness: An Introduction for Health Profesionals. London: Wright.

Kirk. 1970. Educating Exceptional Children. Bombay: IBH Publishing

Luthans. 1995. Organizational Behavior. New York: Mc Graw-Hill Books Company.

Miner. 1992, Industrial-Organizational Psychology. New York: McGraw-Hill Inc.

Niven. 2000. Health Psychology: An Introduction for Nurses and Other Health Case Profesionals. (alih bahasa: Agung
Waluyo). Jakarta: ECG.

Porth. 1998. Pathophysiology. Philadelphia: Lippincott

Sarafino. 1990. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. New York: John Willey & Sons

Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia.

Stellman & Daum. 1973. Work is Dangerous To Your Health. New York: Vintage Books.

Suma'mur. 1976. Higine Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: Gunung Agung.

Sutherland & Cooper. 1990. Understanding Stress A Psycological Perspective for Health Profesionals. London: Chapman and
Hall.

Artikel Terkait

Akibat Stress Kerja
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Dapatkan desain eksklusif gretis via email