Tuesday, July 14, 2009

Perempuan, Aborsi dan Patriarki

Benarkah persoalan yang dihadapi perempuan yang hendak melakukan aborsi begitu sederhana seperti yang tercermin dalam berbagai argumentasi kelompok pro-life dan pro-choice?

Kiranya dengan menonton film If These Walls Could Talk 1 (1996), kita akan sadar, perempuan yang hendak melakukan aborsi atau perempuan dokter yang membantu melakukan aborsi tidak bisa begitu saja memilih salah satu norma moral tersebut.

Dalam film yang terdiri dari tiga film pendek (total durasi 97 menit) karya feminis kontemporer Amerika: Pamela Wallace, Nancy Savoca, Susan Manus, dan Marlane King, dituturkan argumentasi tiga perempuan Amerika dari tiga zaman yang berbeda untuk meneruskan atau mengaborsi kehamilan yang tak mereka rencanakan.

Syahdan, di Amerika tahun 1952 ketika aborsi masih terlarang secara hukum, janda muda Claire Donelly (Demi Moore) bekerja sebagai perawat, hidup pas-pasan. Dia sangat disayang keluarga almarhum suaminya. Dalam situasi yang sulit dijelaskan, Claire melakukan hubungan seksual dengan adik almarhum suaminya dan hamil. Tak mungkin dia menjelaskan kehamilan itu kepada mertuanya. Tak juga kepada koleganya, kecuali kepada pria dokter separuh baya yang—karena patuh pada hukum—tak bersedia mengaborsi kandungan Claire.

Menggugurkan kandungan

Dua kali Claire ingin menggugurkan kandungannya, yaitu dengan meminum obat antimigren yang terlarang bagi perempuan hamil dan menusukkan alat sulam ke rahimnya lewat vagina. Gagal. Akhirnya, Claire mendapatkan orang yang mau mengaborsi dengan bayaran tak murah, tetapi itu aborsi tak aman. Tak ada aborsi aman di negara yang melarang aborsi. Claire mengalami perdarahan parah.

Film kedua—Amerika tahun 1974—berkisah tentang Barbara Barrows (Sissy Spacek): perempuan setengah baya, beranak empat dan bersuamikan polisi. Suatu hari Barbara yang setelah anak-anaknya besar dapat melanjutkan kuliahnya lagi mendapati dirinya hamil.

Dia sadar, bila kehamilan ini dilanjutkan, dia akan menghadapi pilihan sulit, yaitu suaminya tak mungkin mengajukan pensiun dini dan Linda (anak pertamanya) hanya akan bisa sekolah di college negeri atau dia sendiri harus berhenti kuliah. Padahal, bisa kuliah lagi merupakan déjà vu mimpinya.

Kepada suaminya dan Linda, Barbara hanya bisa bilang, �Aku tak tahu apakah mengaborsi atau melanjutkan kehamilan anak kelima ini merupakan keputusan yang benar.� Barbara, memang, batal melakukan aborsi, tetapi bisa dipastikan dia juga berhenti kuliah demi Linda dan suaminya.

Film ketiga Amerika tahun 1996 berkisah tentang Christine (Anne Heche) yang hamil karena selingkuh dengan dosennya yang sudah beranak-istri. Sebagai orang Irlandia totok dan Katolik saleh, Christine berpandangan pro-life: anti-aborsi. Namun, Christine tak mungkin menjelaskan kehamilannya kepada orangtuanya karena hanya akan membuat orangtuanya patah hati; tak mungkin juga menuntut sang dosen menikahinya. Sang dosen lebih suka memberinya uang ketimbang mendengarkan berbagai persoalan yang dihadapi Christine. Singkat cerita, Christine tergerak melakukan aborsi.

Dokter Beth Thompson (Cher) yang mengaborsi kandungannya bilang, Aku mau membantu melakukan aborsi karena tahu bagaimana aborsi dilakukan ketika secara hukum masih dilarang. Juga karena perempuan yang baru kubantu aborsi selalu bilang tak tahu apa yang akan terjadi bila tidak melakukan aborsi.

Saya kira Barbara, Christine, dan dokter Thompson adalah para perempuan yang menganggap aborsi harus dilakukan bukan karena mereka setuju dengan argumentasi pro-choice. Barbara bahkan tak peduli apakah mengaborsi atau meneruskan kehamilan anak kelima itu tindakan yang secara moral benar. Christine yang awalnya berpandangan pro-life terpaksa menunda keyakinan moralnya dan melakukan aborsi.

Dokter Thompson yang berangkat dari situasi nyata pasien juga menunda argumentasi pro-life dan pro-choice serta menunjukkan persoalan utama adalah sulitnya pasien menjelaskan kehamilan mereka dalam masyarakat patriarki.

Membela/memberdayakan korban patriarki dan meruntuhkan patriarki tak bisa dilakukan dalam satu paket. Pembelaan/pemberdayaan adalah tindakan pragmatis, harus segera dilakukan. Sementara meruntuhkan patriarki adalah perjuangan ideal.

Pascamoralitas

Film ini dibuka dengan pernyataan seorang perempuan, Ketahuilah sayang, kalau pria bisa hamil, aborsi akan dijadikan sakramen. Dengan kata lain, patriarki yang sudah berjaya ribuan tahun akan menggunakan berbagai cara untuk melestarikan kekuasaannya.

Situasi nyata (kejam dan bebalnya patriarki) membuat ketiga perempuan itu memilih posisi pascamoralitas. Mereka tidak mengabaikan moralitas, tetapi membuat keputusan dengan cara menunda norma moral pro-life dan pro-choice.

Richard Rorty seorang postmodern, tetapi lebih suka menyebut diri seorang pragmatis melukiskan tindakan pascamoralitas sebagai tindakan liberal-ironis (lihat Contingency, Irony and Solidarity, Cambridge Univ Press, 1989).

Disebut liberal karena yakin bahwa setiap individu harus memiliki the right to privacy agar dapat menjadi dirinya sendiri dan tidak memaksakan keyakinan pribadinya kepada orang lain. Namun, juga disebut ironis, karena juga yakin setiap argumentasi moral (termasuk the right to privacy) adalah hasil konstruksi sosial melalui bahasa manusia dan karenanya bersifat contingent (kebetulan, tidak mutlak).

Kasus nyata

Dalam kasus nyata penderitaan, liberal-ironis adalah seorang yang yakin dirinya tak dapat lagi berpegang teguh pada norma moral apa pun ketika harus membuat keputusan mengakhiri penderitaan itu. Hal ini hanya akan menghasilkan manusia fundamentalis dan ideologis yang lupa norma moral adalah buatan manusia dalam bahasa manusia yang contingent.

Orang-orang seperti ini hanya membela norma moral yang dianutnya, bukan membela orang yang sedang menderita. Alih-alih menghentikan kekerasan, mereka malah meradikalkannya. Begitu juga dalam hal aborsi, seseorang harus bertindak seperti Barbara, Christine, dan dokter Thompson yang berangkat dari kasus konkret, bukan dari norma moral pro-life atau pro-choice yang diyakini.

Debat antara pro-life atau pro-choice memang sangat mencerdaskan dan penting bagi kelanjutan diskursus moral dan filsafat umumnya, tetapi sulit diterapkan dalam kebanyakan kasus konkret karena keduanya tak memperhitungkan situasi konkret individu perempuan dalam masyarakat patriarki.

Artikel Terkait

Perempuan, Aborsi dan Patriarki
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Dapatkan desain eksklusif gretis via email