Benarkah pornografi punya efek psikologis negatif, khususnya mempengaruhi peningkatan perilaku seksual menyimpang dan kejahatan seksual? Jawaban yang mengiyakan tampaknya sudah jadi kepercayaan umum. Sejauh ini, kepercayaan itu belum punya bukti yang cukup secara ilmiah.
Hasil penelitian di beberapa negara justru menunjukkan bahwa kejahatan seksual menurun ketika pornografi dilegalkan. Penelitian yang dilakukan oleh Berl Kutchinsky (1970, 1999) terhadap beberapa negara seperti Denmark, Swedia, Jerman Barat, dan AS menunjukkan bahwa pada periode 1964-1984 ada korelasi negatif antara ketersediaan materi-materi pornografi dengan tingkat kejahatan pemerkosaan. Artinya, meningkatnya ketersediaan materi pornografi diikuti oleh penurunan tingkat kejahatan pemerkosaan. Penelitian itu juga menunjukkan adanya indikasi penurunan kejahatan seksual non-kekerasan dalam bentuk perilaku seksual menyimpang seiring dengan bertambahnya peredaran materi-materi pornografi di negara-negara itu. Penelitian lain yang dilakukan di Jepang menunjukkan adanya penurunan insiden pemerkosaan secara signifikan (Diamond & Uchiyama, 1999). Sebaliknya, belum ada penelitian yang menunjukkan hubungan langsung antara konsumsi materi-materi pornografi dan tindak kejahatan seksual.
Riset-riset di bidang psikologi menunjukkan hasil yang tidak seragam. Beberapa riset mendukung pernyataan bahwa konsumsi terhadap materi pornografi dapat meningkatkan kejahatan seksual, sementara beberapa penelitian lainnya menunjukkan tidak adanya pengaruh, baik peningkatan maupun penurunan kecenderungan melakukan kejahatan seksual.
Dalam laporan studi yang berjudul Sexual Deviation as Conditioned Behavior, McGuire (1965) menulis bahwa seiring dengan semakin seringnya seorang laki-laki bermasturbasi sambil membayangkan fantasi seksual yang jelas (yang diperoleh dari pengalaman nyata atau materi pornografi), pengalaman yang mengandung kenikmatan semakin memaklumkan fantasi menyimpang (perkosaan, memaksa anak melakukan kegiatan seksual, melukai pasangan ketika berhubungan seksual, dsb) dengan disertai penambahan nilai erotik. Studi yang dilakukan Martino, Collins, Elliott, Strachman, Kanousie, dam Berry (2006) menemukan bahwa pornografi dan mendengarkan musik dengan lirik seksual yang merendahkan berhubungan dengan perluasan rentang aktivitas seksual di kalangan remaja.
Jika kita cermati, dapat dipahami bahwa dua studi yang mendukung pendapat tentang adanya pengaruh pornografi terhadap kecenderungan perilaku seksual dan fantasi menyimpang tersebut adalah studi korelasional yang tidak menguji efek langsung dari pornografi. Dari hubungan yang tak langsung itu tidak dapat disimpulkan adanya pengaruh atau hubungan sebab-akibat. Ini merupakan kritik yang banyak diajukan terhadap kajian pengaruh pornografi dengan teknik korelasional. Kritik seperti ini juga diajukan terhadap penelitian lain yang menyimpulkan adanya efek dari konsumsi materi pornografi dalam jangka panjang. Kita bisa temukan juga banyak studi lapangan dan riset korelasional yang menunjukkan tidak adanya hubungan pornografi dengan kejahatan dan perilaku seksual menyimpang (di antaranya Garcia, 1986; Langevin, et. al. 1988; Padgett, et. al., 1989; Baron, 1990; Gentry, 1991; Corne, 1992).
Riset-riset laboratorium yang dilakukan sejauh ini tidak mendukung pendapat yang menyatakan adanya pengaruh langsung dari pornografi terhadap perilaku seksual menyimpang dan kejahatan seksual. Sebagai contoh, riset eksperimental Malamuth dan Ceniti dalam Aggressive Behavior (1986, 12: 129- 137) yang mengkaji efek jangka panjang dari paparan berulang pornografi, dengan dan tanpa adegan kekerasan, pada perilaku agresi laki-laki terhadap perempuan, serta kemungkinan melakukan pemerkosaan, menunjukkan hasil negatif. Rangsangan-rangsangan berupa paparan pornografi dengan dan tanpa disertai kekerasan tidak mempengaruhi agresi. Meskipun kemungkinan melakukan pemerkosaan dapat dijadikan bahan untuk meramalkan adanya agresi, namun tidak ada hubungan langsung yang dapat ditemukan antara paparan pornografi dan kemungkinan melakukan pemerkosaan. Riset ini membantah anggapan umum bahwa ada pengaruh pornografi terhadap kecenderungan melakukan kejahatan seksual.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Fischer dan Greneir (1994) mengaji pengaruh paparan pornografi yang disertai kekerasan pada tindak agresi terhadap perempuan, fantasi, dan perubahan sikap terhadap perempuan. Hasilnya, paparan pornografi yang disertai kekerasan, bahkan yang disertai dengan provokasi untuk menampilkan agresi dan sikap negatif terhadap perempuan, secara esensial tidak menghasilkan kecenderungan agresi terhadap perempuan, fantasi, dan perubahan sikap. Hasil ini juga membantah pernyataan tentang adanya pengaruh pornografi terhadap kecenderungan kekerasan terhadap perempuan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa paparan pornografi dengan atau tanpa kekerasan tidak berhubungan langsung dengan fantasi seksual.
Lalu mengapa kepercayaan tentang efek psikologis negatif pornografi dianut oleh banyak orang, juga di Indonesia?
Thornton (1986) dalam laporan studinya The Politics of Pornography: A Critique of Liberalism and Radical Feminism memaparkan adanya kecenderungan untuk mengkambing-hitamkan pornografi dalam menghadapi masalah budaya yang lebih umum. Pornografi adalah target yang mudah untuk disalahkan karena pandangan konservatif sudah keburu punya penilaian buruk terhadapnya. Ketika ada masalah sosial, moral, atau budaya yang pelik dan sulit diselesaikan, pornografi dengan mudah dapat dituduh sebagai penyebabnya. Kita dapat dengan jelas menemukan kecenderungan seperti ini di Indonesia. Sebagai contoh, ketika seorang anggota DPR RI prihatin terhadap banyaknya kasus pencabulan yang dilakukan anak-anak dan ternyata anak-anak itu mengkonsumsi film-film porno lewat VCD, ia langsung menunjuk materi pornografi sebagai penyebabnya. Ia juga menunjuk “tidak adanya aturan tentang pornografi” sebagai penyebabnya. Padahal, jika kita cermati masalahnya jauh lebih kompleks dan pelik. Kenyataan bahwa anak-anak itu dapat mengakses VCD porno tanpa pendampingan orang tua adalah masalah keluarga. Banyaknya anak telantar yang tak memperoleh pengasuhan memadai dari orang tua adalah masalah sosial. Beredarnya VCD porno bajakan di Indonesia adalah masalah hukum dan buruknya kinerja petugas keamanan.
Pola asuh yang cenderung menganggap tabu dan menyembunyikan ihwal seksualitas bisa jadi merupakan predisposisi bagi kecenderungan untuk menempatkan pornografi sebagai biang masalah di berbagai ranah kehidupan. Ranah seksualitas menjadi wilayah gelap yang memancing spekulasi negatif dan rentan untuk dituduh sebagai biang keladi kejahatan seksual. Proteksi sosial berlebihan di ranah seksual dengan prasangka bahwa seks adalah ihwal yang tabu seolah membenarkan bahwa paparan eksplisit materi-materi seksualitas punya pengaruh negatif terhadap kehidupan sosial. Prasangka negatif terhadap seks tampaknya menjadi ramalan yang mewujudkan dirinya sendiri (self-fulfilling prophecy). Dengan adanya prasangka negatif sebagai predisposisi, penafsiran dan pemaknaan terhadap fakta-fakta yang berkaitan dengan perilaku seksual cenderung mengarahkan orang kepada penilaian negatif terhadap seks. Sebagai contoh, Linz, et. al. (1987) menunjukkan adanya inkongruensi pada penyimpulan yang dilakukan The Attorney General's Commission on Pornography di Amerika yang menyatakan bahwa paparan berbagai bentuk pornografi dan efek antisosial meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Penyimpulan itu tidak sepenuhnya sejalan dengan data riset yang digunakan. Ada kebolongan fakta di sana-sini. Bolong-bolong itu ditutupi dengan prasangka dan anggapan umum bahwa pornografi sebagai bentuk pengungkapan seksualitas secara eksplisit merupakan faktor yang meningkatkan kekerasan seksual.
Kombinasi antara kurangnya pemahaman tentang faktor-faktor kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual dengan sikap negatif terhadap seksualitas menguatkan pendapat umum yang menuduh pornografi sebagai penyebab langsung dari kejahatan dan penyimpangan itu. Kecenderungan manusia untuk melengkapi kurangnya informasi dengan apa yang dipercayainya secara ideologis bisa jadi berperan dalam tuduhan itu. Orang cenderung menguatkan apa yang dipercayainya terdahulu ketika ia berada dalam situasi yang membingungkan. Motivasi untuk selalu berada dalam stabilitas kognitif cenderung menguatkan apa yang sudah terlebih dahulu dipercayai. Dalam masyarakat yang cenderung menjadikan seksualitas sebagai hal yang tabu dan menilai negatif pornografi seperti di Indonesia, besar kemungkinannya untuk menuduh pornografi sebagai penyebab kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kejahatan dan penyimpangan itu memiliki banyak faktor, dan kalaupun ada hubungannya dengan pornografi, hubungan itu tidak bersifat langsung (di antaranya Wilcox, 1987; Russo, 1987; Linz, et. al., 1987; Money, 1988; Thompson, et. al., 1990; Lottes, et al., 1993).
Penelitian-penelitian tentang efek psikologis pornografi memberikan implikasi pemahaman bahwa pembatasan atau pelarangan peredaran pornografi bukanlah jalan keluar yang efektif bagi masalah kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual. Tanpa intervensi terhadap beragam faktor sosial dan psikologis yang berperan memunculkan kejahatan dan penyimpangan itu, pencegahan dan penanganan masalah itu tak akan berbuah positif. Alih-alih, masalah baru muncul dari pengaturan materi-materi seksualitas yang pukul rata. Undang-undang yang melarang peredaran dan konsumsi pornografi bisa jadi malah memberi hasil yang tak diharapkan, yaitu meningkatnya kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual.
Dari penelitian Diamond dan Uchiyama (1999) di Jepang yang sudah dikemukakan terdahulu, kita mendapat pemahaman bahwa legalisasi peredaran materi pornografi justru sejalan dengan penurunan insiden kejahatan seksual. Dalam konteks ini, pornografi dapat dipahami sebagai media katarsis atau sarana penyaluran dorongan-dorongan seksual di ruang privat. Penyaluran itu meredakan ketegangan psikis dan melepaskan seseorang dari dorongan untuk mencari-cari obyek penyaluran lain. Di sisi lain, pengekangan terhadap dorongan-dorongan itu menghambat penyalurannya, sehingga energi yang menggerakkannya bertumpuk dan bisa meledak tak terkendali sewaktu-waktu. Dorongan yang tak terkendali itu, seperti yang ditunjukkan oleh para ahli psikoanalisis, lebih terbukti menjadi penyebab kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual. Dengan dasar itu, ketimbang mengatur dan melarang pornografi, lebih baik melakukan promosi pengaturan dan pengendalian diri, khususnya promosi pengendalian dorongan seksual. Dorongan seksual merupakan sesuatu yang terberi pada manusia. Untuk memanfaatkannya, yang perlu dilakukan bukan mengekang atau melarang, melainkan mengendalikan dan menyalurkannya secara memadai. Dan pornografi bisa menjadi salah satu cara pengendalian dan pemanfaatan itu.
3 comments
berbicara masalah pornografi. tentunya perlu ada batasan pemahaman kita sebagai bangsa indonesia. saya sejak dulu sampai sekarang bingung dengan batasan dari pornografi. mungkin dokumen pointar bisa kasih info ke saya.. supaya kita lebih mudah untuk menghindari efek psikologisnya... salam super
ReplySya sangat tidak setuju dengan pornografi. apalagi itu menimpa anak2 kita(tapi aku blm py anak lho.. msh lajang). Semestinya Ada UU yang bisa membatasi aksi tindakan yg menimbulkan pornografi. UU pornografi yg sekarang di Indonesia seperti apa ya..?
ReplyBotanix
sebenarnya saya mau mencari artikel tentang fantasi dalam ilmu psikologi, kok nyasar kesini ya??
Reply