Tuesday, October 7, 2008

Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali

ANTROPOLOGI
Sebuah Deskripsi Peradaban Lokal;
Kebudayaan Petani
Desa Trunyan Di Bali


I. PENDAHULUAN
Sejarah kemanusiaan tidak akan pernah berakhir hingga peradaban manusia sudah benar-benar lenyap di muka bumi. Deskripsi manusia yang secara akademitif tergambar dalam haluan antropologi, dewasa ini menunjukan perkembangan yang sangat luas. Terbagi kedalam banyak disiplin ilmu kemanusiaan. Bahkan jika ditilik dari akar historis, antropologi pun merupakan akar cabang disiplin ilmu dari filsafat humanistik.
Disiplin antropologi perkembangan akhir-akhir ini ternyata lebih banyak mengungkap banyak misteri peradaban manusia, baik yang sudah ada seperti peradaban Mesir Kuno, peradaban dua Sungai, yaitu Tigris dan Eufrat yang membelah Mesopotamia, Eropa kuno maupun peradaban-peradaban kuno yang baru-baru ini ditemukan seperti suku Maya di Amerika Latin, peradaban dan kebudayaan lokal di berbagai daerah dan sebagainya. Di Indonesia sekalipun, dari deskripsi dan perkembangan ilmu ini, akhirnya banyak mengungkap keanekaragaman ranah budaya setempat
Meski perkembangan antropologi sudah begitu luas, tetapi kami menyoroti perkembangan antropologi lokal di Indonesia, ternyata tidak berkembang cukup menggembirakan. Dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, hanya segelintir komunitas yang mendalami ilmu ini. Apalagi jika dilihat dari sarjana terkemuka, dapat dikatakan hanya sedikit saja, sebutlah Kuntjoroningrat, Jalaluddin Rakhmat, Franz Magnis Suseno dan sebagainya
Sedikit mengenyampingkan tugas ini sebagai prasyarat ujian, kami lebih menekankan penelitian ini sebagai salah satu ujud keprihatinan mendalam terhadap sedikitnya perhatian para akademisi pada kebudayaan lokal. Padahal kebudayaan lokal adalah unsur terpenting dari dibangunnya peradaban yang lebih pemahaman budaya setempat yang baik.
Kehidupan rakyat Indonesia, yang pada akhir tahun 80-an hingga awal 90-an dikenal sebagai Negara agraria, ternyata banyak menyimpan kekayaan budaya dan ragam etnik. Ini tercermin dalam nuansa kehidupan nelayan, petani dan lain sebagainya. Dari sekian banyak budaya itu, penelitian kali ini akan menyoroti kebudayaan petani di sebuah desa di ujung Timur pulau Jawa, Trunyan, Bali.

II. PEMBAHASAN

- Latar Belakang Etnografis (Lokasi, Lingkungan dan Jumlah Penduduk)

Desa Trunyan terletak di sebelah pantai timur Danau Batur, sebelah barat gunung Batur Purba yang memiliki ketinggian 1717 m diatas permukaan laut, bagian timur pulau Bali. Sekitar +70 km sebelah timur laut Denpasar atau + 45 km timur kota Singaraja. Cuaca desa Trunyan kering dingin, khas hawa pegunungan. Sedangkan danau Batur adalah danau terbesar di Pulau Bali, danau ini mengandung 815.38 juta meter kubik air. Selain pertanian, danau ini juga memberikan penghidupan tambahan untuk penduduk desa Trunyan dan sekitarnya.
Penduduk Trunyan terdiri dari 315 kepala keluarga, dan terbagi kedalam 5 blok (anak desa), atau yang di bali dikenal Tempek, yaitu Tempek Trunyan yang didiami 86 kk, Tempek Madia-Pangkungan 88 kk, Tempek Bunut 34 kk, Tempek Puseh 50 kk dan Tempek Mukus dengan 57 kk. Pada tahun 2003, hasil penghitungan terakhir penduduk, desa Trunyan berjumlah sekitar 12.416 jiwa.

- Sistem Kekerabatan dan Mata Pencaharian

Prinsip keturunan orang petani Desa Trunyun berdasarkan prinsip patrilineal, yamg menghitungkan hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja. Hal ini mengakibatkan bahwa setiap individu dalam masyarakat Trunyan semua kerabat ayahnya masuk di dakam batas kekerabatannya, sedangkan i kerabat ibunya berada diluar batas tersebut. tetapi ini hanya berlaku di dalam hal warisan, untuk lainnya, berjalan seperti biasa seperti kebaktian di sanggah dadia (kuil) milik kerabat ibu.
Secara garis besar ada 4 kelompok kekerabatan:
a. Inti, yang merupakan keluarga inti (nuclear vamily)
b. Roban (Household) yang mengurusi masalah perekonomian Trunyam
c. Karang, keluarga luas virilokal, yang menurut Kuntjaraningrat disebut (verilokal extended vamily) dan
d. Dadia, yang disebut sebagai klan terbesar kekerabatan
Sedangkan untuk mata pencaharian hidup, desa Trunyan sebenarnya bermata pencaharian utama tani dan bercocok tanam di ladang. Tetapi bagi orang luar yang baru masuk ke desa Trunyan, mereka pasti menganggap penduduk Trunyan hidup dari menangkap ikan di danau Batur. Apalagi bagi orang yang hanya mendengar Bali dari pencitraan pulau wisata, menganggap bahwa mata pencaharian penduduk ini dari berdagang, melayani turis sebagai guide dan berbisnis motor boat di danau. Padahal semua itu adalah mata pencaharian tambahan.

III. FOKUS SISTEM BUDAYA SETEMPAT

- Sistem Religi dan Emosi Keagamaan

Religi orang Trunyan adalah suatu variant, atau salah satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama Hindu Bali Trunyam; yang selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindu Dharma, yamg juga telah diakui sebagai salah satu agama resmi Indonesia.
Agama Hindu Trunyan dapat disebut sebagai varian dari agama Hindu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya lebih berpegang pada kepercayaan Trunyan asli. Apa yan disebut sebagai Trunyan asli adalah kepercayaan berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur (ancerstor worship); yakni tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggal, sehingga perlu juga uinutk dipuja (animisme).
Walaupun dari luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karena sudah memperhunakan liturgy Hindu, lebih tepatnya Hindu Bali, namun semua itu dipergunakan hanya memuja dewa-dewa asli Trunyan.
Adapula unsur yang dapat mempertinggi emosi keagamaan dan aktifitas keagamaan, menurut Kuntjaraningrat (1967: 218) adalah:
 Kesadaran tentang adanya mahluk gaib dari jiwa yang telah meninggal
 Krisis serta rasa takut dalam hidupnya
 Yakin akan adanya banyak gejala yang tidak dipahami akal
 Percaya Kekuatan alam
 Terikat oleh solidaritas masyarakat, dan
 Percaya akan adanya dewa tertinggi
Ternyata hal-hal ini juga turut memegang peranan penting unutk mempertinggi emosi keagamaan masyarakat Trunyan.

- Dinamika Budaya serta Perubahan Sosial di Trunyan
Sebagai masyarakat yang letak tempat kediamannya agak terpencil dari kehidupan orang Bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia lainnya, maka proses modernisasi dan perubahan kebudayaan Trunyan sering terhambat. Biarpun demikian, desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama penyebar agama Hindu, yang khusus ingin merubah keadaan desa Trunyan, terutama kepercayaannya.
Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah di mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan.
Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan wisata. Selain karena keindahan alam laiknya sentuhan agung Tuhan surgawi, juga karena keteguhan penduduknya akan tradisi keagamaan, yang lebih dikenal sebagai “Pulau Dewata”. Dukungan sektor pemerintahan untuk pariwisata inilah yang menyebabkan tradisi budaya lokal terus digalakan perkembanganya.
Dewasa ini, pertumbuhan pembangunan modern sudah sangat nampak di daerah Trunyan. Pembangunan hotel, villa, restoran serta tempat peristirahatan lainnya berkembang pesat. Disamping itu, pembangunan kuil sesembahan, tempat pemujaan juga banyak dibangun. Meski sepertinya ada sangat besar pergeseran nilai yang terjadi seperti pergeseran kehidupan pertanian ke sektor pariwisata, namun pelestarian kebudayaan dan kepercayaan masih terus akan bertahan dan berkembang.



IV. BIBLOGRAFI

- Danandjadja, James. 1990 “Kebudayaan Petani Bali; Sebuah Deskripsi Antropologi Budaya” Jakarta: Penerbit Universitas Indonesi (UI-Press)
- http://www.perputakaannasional.com
- Diane, Loulou, (1995). Making the A: How To Study for Test (on line). Tersedia di Eric Digest ED 386613 ERIC Clearinghouse on Assessment and Evaluation.
- Baidhowy, Zakiyudin. 2002 “Multikulturalisme Kebudayaan Lokal” Surakarta: Muhammadiyah University Press.
- Kuntjaraningrat, 1967. “Ilmu Antropologi” Jakarta: UI Press
- Deridda, 2001 “Cultural Studies; Sosiology Analysis Post Modernism” London: London Press

Artikel Terkait

Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Dapatkan desain eksklusif gretis via email