Monday, September 1, 2008

Terapi bermain anak autis


PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI PENYANDANG AUTISME
PENDEKATAN TEORITIS PENERAPAN TERAPI BERMAIN PADA PENYANDANG AUTISME
Sebagian besar teknik terapi bermain yang dilaporkan dalam literatur menggunakan basis pendekatan psikodinamika atau sudut pandang analitis. Hal ini sangat menarik karena pendekatan ini secara tradisional dianggap membutuhkan komunikasi verbal yang tinggi, sementara populasi autistik tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Namun terdapat juga beberapa hasil penelitian yang menunjukkan penggunaan terapi bermain pada penyandang autisme dengan berdasar pada pendekatan perilakuan (Landreth, 2001). Salah satu contoh penerapan terapi bermain yang menggunakan pendekatan perilakuan adalah The ETHOS Play Session dari Bryna Siegel (Schaefer, Gitlin, & Sandgrund, 1991).
Terdapat beberapa contoh penerapan terapi bermain bagi anak-anak autistik, diantaranya adalah (Landreth, 2001):
1. Terapi yang dilakukan Bromfield terhadap seorang penyandang autisme yang dapat berfungsi secara baik. Fokus terapinya untuk dapat masuk ke dunia anak agar dapat memahami pembicaraan dan perilaku anak yang membingungkan dan kadang tidak diketahui maknanya. Bromfield mencoba menirukan perilaku obsessif anak untuk mencium/membaui semua objek yang ditemui menggunakan suatu boneka yang juga mencium-cium benda. Apa yang dilakukan Bromfield dan yang dikatakannya ternyata dapat menarik perhatian anak tersebut. Bromfield berhasil menjalin komunikasi lanjutan dengan anak tersebut menggunakan alat-alat bermain lain seperti boneka, catatan-catatan kecil, dan telepon mainan. Setelah proses terapi yang berjalan 3 tahun, si anak dapat berkomunikasi secara lebih sering dan langsung.
2. Lower & Lanyado juga menerapkan terapi bermain yang menggunakan pemaknaan sebagai teknik utama. Mereka berusaha masuk ke dunia anak dengan memaknai bahasa tubuh dan tanda-tanda dari anak, seperti gerakan menunjuk. Tidak ada penjelasan detil tentang teknik mereka namun dikatakan bahwa mereka kurang berhasil dengan teknik ini.
3. Wolfberg & Schuler menyarankan penggunaan terapi bermain kelompok bagi anak-anak autistik dan menekankan pentingnya integrasi kelompok yang lebih banyak memasukkan anak-anak dengan kemampuan sosial yan tinggi. Jadi mereka memasangkan anak-anak autistik dengan anak-anak normal dan secara hati-hati memilih alat bermain dan jenis permainan yang dapat memfasilitasi proses bermain dan interaksi di antara mereka. Fasilitator dewasa hanya berperan sebagai pendukung dan mendorong terjadinya proses interaksi yang tepat.
4. Mundschenk & Sasso juga menggunakan terapi bermain kelompok ini. Mereka melatih anak-anak non-autistik untuk berinteraksi dengan anak-anak autistik dalam kelompok.
5. Voyat mendeskripsikan pendekatan multi disiplin dalam penggunaan terapi bermain bagi anak autisme, yaitu dengan menggabungkan terapi bermain dengan pendidikan khusus dan melatih ketrampilan mengurus diri sendiri.
EFEKTIVITAS TERAPI BERMAIN BAGI PENYANDANG AUTISME
Efektivitas penggunaan terapi bermain masih cukup sulit diketahui karena sampai saat ini kebanyakan literatur masih memaparkan hasil kasus per kasus. Namun Bromfield, Lanyado, & Lowery menyatakan bahwa klien mereka menunjukkan peningkatan dalam bidang perkembangan bahasa, interaksi sosial, dan berkurangnya perilaku stereotip, setelah proses terapi. Mereka dikatakan juga dapat mentransfer ketrampilan ini di luar seting bermain.
Wolfberg & Schuler menyatakan bahwa model terapi bermain yang terintegrasi dalam kelompok juga dapat berhasil, dimana program ini ditujukan untuk meningkatkan interaksi sosial dan melatih ketrampilan bermain simbolik. Mundschenk & Sasso juga melaporkan hal yang sama.
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI ANAK AUTISTIK
Terdapat beberapa hal prinsip yang harus dipahami terapis sebelum menerapkan terapi bermain bagi anak-anak autistik, yaitu:
1. Terapis harus belajar "bahasa" yang diekspresikan kliennya agar dapat lebih membantu. Karena itu metode yang disarankan adalah terapi yang berpusat pada klien.
2. Harus disadari bahwa terapi pada populasi ini prosesnya lama dan sangat sulit sehingga membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi. Apa yang kita latihkan bagi anak normal dalam waktu beberapa jam mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun pada anak autistik. Kondisi ini kadang membuat terapis bosan dan putus asa.
3. Terapis harus menghindari memandang isolasi diri anak sebagai penolakan diri dan tidak memaksa anak untuk menjalin hubungan sampai anak betul-betul siap.
4. Terapis juga harus betul-betul sadar bahwa meskipun anak autistik dapat mengalami kemajuan dalam terapi yang diberikan, ketrampilan sosial dan bermain mereka mungkin tidak akan bisa betul-betul normal. Jika tujuan umum terapi adalah untuk membantu anak dapat memaksimalkan potensi mereka dan memberi mereka kesempatan untuk berfungsi lebih baik dalam hidup mereka, maka keberhasilan sekecil apapun harus dianggap sebagai kemenangan dan harus disyukuri sepenuh hati.
Berdasarkan luasnya batasan terapi bermain maka penerapannya bagi penyandang autisme memerlukan batasan-batasan yang lebih spesifik, disesuaikan dengan karakteristik penyandang autisme sendiri. Pada anak penyandang autisme, terapi bermain dapat dilakukan untuk membantu mengembangkan ketrampilan sosial, menumbuhkan kesadaran akan keberadaan orang lain dan lingkungan sosialnya, mengembangkan ketrampilan bicara, mengurangi perilaku stereotip, dan mengendalikan agresivitas.
Berbeda dengan anak-anak non autistik yang secara mudah dapat mempelajari dunia sekitarnya dan meniru apa yang dilihatnya, maka anak-anak autistik memiliki hambatan dalam meniru dan ketrampilan bermainnya kurang variatif. Hal ini menjadikan penerapan terapi bermain bagi anak autisme perlu sedikit berbeda dengan pada kasus yang lain, misalnya:
1. Tujuan dan target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan kondisi dan ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap dan terstruktur . Misalnya pada penyandang autisme yang belum terbentuk kontak mata, maka mungkin tujuan terapi bermain dapat diarahkan untuk membentuk kontak mata. Permainan yang dapat dipilih misalnya ci luk ba, lempar tangkap dengan bantuan, 'lihat ini', dan lain-lain.
2. Jika secara umum terapi bermain memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi dan eksplorasi, maka pada anak autisme hal ini akan memerlukan usaha yang lebih keras dari terapis terutama jika anak belum memiliki kesadaran akan dirinya dan dunia sekitarnya sehingga inisiatif belum muncul. Pada kasus seperti ini maka terapis perlu lebih aktif menarik anak untuk masuk dalam forum bermain dengan secara aktif menunjukkan contoh dan menarik anak terlibat. Misalnya dengan menunjuk masing-masing alat bermain yang ada sambil menyebutkan namanya, memberi contoh bagaimana alat bermain itu digunakan, terapis bermain pura-pura dengan tetap berusaha menarik anak terlibat.
3. Jika kesadaran diri dan dunia sekitarnya sudah muncul , maka anak dapat diberikan target yang lebih tinggi misalnya melatih ketrampilan verbal (berbicara) dan ketrampilan sosial. Pada tahap ini maka pelibatan anak dalam forum yang lebih besar, dengan melibatkan anak-anak sebaya lain mungkin lebih membantu. Misalnya anak diajak bernyanyi bersama, dibacakan cerita bersama anak-anak lain, diajak berbicara, dan permainan lainnya.
4. Terapi bermain bagi penyandang autisme dapat ditujukan untuk meminimalkan/menghilangkan perilaku agresif, perilaku menyakiti diri sendiri, dan menghilangkan perilaku stereotip yang tidak bermanfaat. Hal ini dapat dilakukan dengan melatihkan gerakan-gerakan tertentu kepada anak, misalnya tepuk tangan, merentangkan tangan, menyusun balok, bermain palu dan pasak, dan alat bermain yang lain. Dengan mengenalkan gerakan yang lain dan berbagai alat bermain yang dapat digunakan maka diharapkan dapat digunakan untuk mengalihkan agresivitas yang muncul, juga jika anak sering menyakiti diri sendiri. Mengenalkan anak pada permainan konstruktif seperti menyusun balok juga akan memberi kegiatan lain sehingga diharapkan perilaku stereotip yang tidak bermanfaat dapat diminimalkan.
Demikian beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam terapi bermain bagi penyandang autisme. Namun, disamping beberapa hal tersebut terdapat beberapa hal prinsip yang juga harus diperhatikan, yaitu:
1. Terapi bagi anak penyandang autisme tidak dapat dilakukan hanya dengan terapi tunggal. Mengingat bahwa spektrum hambatan yang dialami anak autism sangat luas dan kompleks, maka terapi bermain sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan terapi yang lain, misalnya terapi wicara, terapi medis, dan lain-lain. Rencana program terapi yang dijalankan pun harus disusun dengan terpadu dan terstruktur dengan baik, begitu juga proses evaluasinya.
2. Terapi bermain ini harus dilakukan oleh tenaga terapis yang sudah terlatih dan betul-betul mencintai dunia anak dan pekerjaannya. Hal ini terlebih pada penyandang autisme karena menangani anak autisme memerlukan kesabaran dan keteguhan hati yang tinggi. Jika pada anak non autistik target perubahan perilaku yang dibuat mungkin dapat dicapai dengan cepat dan lebih mudah, maka bagi penyandang autisme belajar perilaku baru memerlukan usaha dan perjuangan yang sangat keras dan belum tentu berhasil memuaskan.
3. Keberhasilan program terapi bermain sangat ditentukan oleh bagus tidaknya kerja sama terapis dengan orang tua dan orang-orang lain yang terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan proses transfer ketrampilan yang sudah diperoleh selama terapi yang harus terus dipelihara dan ditingkatkan dalam kehidupan di luar program terapi.
Demikianlah beberapa hal yang menurut saya penting diketahui tentang penerapan terapi bermain bagi anak penyandang autisme. Sekali lagi, harus dicatat bahwa terapi bermain adalah salah satu alternatif saja diantara sekian banyak program terapi yang sudah dikembangkan bagi anak autisme. Masukan dan kritik bagi makalah ini sangat diharapkan demi proses belajar saya dan perbaikan ke depan. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
APA. 1994. DSM-IV, 4th Ed. Washington DC: The American Psychiatric Association
Budiman, M., 1997. Tata Laksana Terpadu pada Autisme. Simposium Tata Laksana Autisme oleh Yayasan Autisme Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan
Caldera, Y.M., et al., 1999. Children 's Play Preferences, Construction Play with Blocks, and Visual-Spatial Skills: Are They Related? International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 23. No. 4,855-872.
Coplan, R.J, et al., 2004. Do You "want " to Play? Distinguishing Between Conflicted Shyness and Social Disinterest in Early Childhood. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 40. No. 2, 244-258.
Hartini, N., 2004. Pola Permainan Sosial: Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosi Anak, Anima, Vol. 19, No. 3, 271-285
Hoeksema, S.N., 2004. Abnormal Psychology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill Companies. Inc.
International Association for Play Therapy (APT), Play Therapy. Diakses dari www. A4pt.org
Landreth, G.L., 2001, Innovations in Play Therapy: Issues, Process, and Special Populations, Philadelphia, Brounner-Routledge
Lyytinen, P., Dikkens, A. M., dan Laakso, M.L. 1997. Language and Symbolic Play in Toddlers. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 21. No. 2, 289-302.
McConnell, R.S., 2002. Interventions to Facilitate Social Interaction for Young Children with Autism: Review of Available Research and Recommendations for Educational Intervention and Future Research. Journal of Autism and Developmental Disorders. Vol. 32. No. 5, October 2002, 351-372
Openheim, D. 1997. The Attachment Doll-Play Interview for Preschoolers. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 20. No. 4, 681-697.
Schaefer,C.E., Gitlin, K, & Sandgrund., 1991, Play Diagnosis & Assessment, Canada: John Wiley & Sons
Sugiarto, S, Prambahan, D.S., & Pratitis, N.T., 2004, Pengaruh Social Story terhadap Kemampuan Berinteraksi Sosial pada Anak Autis, Anima, Vol. 19, N0. 3, 250-270
Sukmaningrum, E., 2001, Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca Trauma pada Anak, Jurnal Psikologi, Vol. 8, No. 2, 14-23
Sutadi, R., 1997. Tata Laksana Perilaku pada Penyandang Autisme. Simposium Tata Laksana Autisme oleh Yayasan Autisme Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan

Artikel Terkait

Terapi bermain anak autis
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Dapatkan desain eksklusif gretis via email

2 comments

July 12, 2012 at 2:47 AM delete

Pusat Terapi dan Tumbuh Kembang Anak (PTTKA) Rumah Sahabat Yogyakarta melayani deteksi dini anak berkebutuhan khusus dengan psikolog, terapi wicara, sensori integrasi, fisioterapi, behavior terapi, Renang& musik untuk anak berkebutuhan khusus, terapi terpadu, home visit terapi & program pendampingan ke sekolah umum dan pelatihan terapi bagi orang tua anak berkebutuhan khusus. informasi lebih lanjut hubungi PTTKA Rumah Sahabat, Jl Perintis Kemerdekaan Perum Gambiran C 2 UH 5 Yogya 0274 8267882

Reply
avatar