Thursday, October 9, 2008

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI KLINIS  DI INDONESIA

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI KLINIS DI INDONESIA

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI KLINIS

DI INDONESIA

Bab I

Pendahuluan

Psikologi Klinis adalah salah satu bidang psikologi terapan selain Psikologi Pendidikan, Psikologi Industri, dan lain-lain. Psikologi Klinis menggunakan konsep-konsep Psikologi Abnormal, Psikologi Perkembangan, Psikopatologi dan Psikologi Kepribadian, serta prinsip-prinsip dalam assesment dan intervensi, untuk dapat memahami maslah-masalah psikologis, gangguan penyesuaian diri dan tingkah laku anormal.

Dilihat dari cakupannya, psikologi klinis dapat diartikan secara sempit atau luas. Secara sempit, psikologi klinis tugasnya ialah mempelajari orang-orang abnormal atau subnormal. Tugas utama psikologi klinis adalah menggunakan tes yang merupakan bagian integral suatu pemeriksaan klinis yang biasanya dilakukan di rumah sakit. Dalam cakupan yang lebih luas, psikologi klinis adalah bidang psikologi yang membahas dan mempelajari kesulitan-kesulitan serta rintangan emosional pada manusia, tidak memandang ia abnormal atau subnormal. Psikologi Klinis menopang gejala-gejala yang dapat mengurangi kemungkinan manusia untuk bahagia. Kebahagiaan erat hubungannya dengan kehidupan emosional-sensitif dan harus dibedakan dengan kepuasan yang lebih berhubungan dengan segi-segi rasional dan intelektual (Yap Kie Hien,1968).

Disini, berdasarkan cakupan dan beberapa pengertian dari para ahli psikologi, akan dibicarakan tentang perkembangan psikologi klinis dari awal dan akhirnya sampai di Indonesia. Dengan beberapa referensi baik buku maupun dari rujukan lain mengenai ilmu psikologi klinis yang merupakan cabang dari ilmu psikologi, akan merumuskan dan membahas masalah perkembangan psikologi klinis ini.

Bab II

Pembahasan

Psikologi Klinis merupakan salah satu jenis psikologi terapan yang sampai sekarang sering dipertanyakan arti, kedudukan, dan peranannya jika dibandingkan dengan psikiatri. Dalam hal Psikologi Klinis, bahkan psikologi saja masih tidak banyak yang mengetahuinya. Bahkan sejak digunakan, pada tahun 1530-an, telah terlihat jelas adanya ketidakpastian mengenai materi apa yang sebenarnya dibahas dalam psikologi ini. Philip Melacthon yang pada tahun tersebut merencanakan adanya psikologi, menyatakan bahwa substansi atau materi psikologi adalah gabungan dari faal tubuh, malaikat, setan, dan Tuhan yang muncul dalam gejala perilaku. Dapat dibayangkan rumitnya, apa yang dihadapi psikologi klinis kalau psikologi dianggap ilmu tentang materi tersebut. Kemudian, para fungsionalis menganggap bahwa materi psikologi adalah mental atau fungsi psikis, seperti emosi dan daya pikir.

Pada tahun 1920-an muncul Watson yang menghendaki adanya materi psikologi berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang objektif, dapat diukur dan diamati, ialah perilaku. Perkembangan psikologi berikutnya manjadi lebih rumit lagi, karena sangat banyak mengikuti perkembangan filsafat, terutama tentang hakikat manusia dan metodologi. Jadi, psikologi klinis sesuai dengan perkembangan materi psikologi pada umumnya, juga menghadapi masalah yang sama, ialah keruwetan mengenai apa yang sebenarnya dibaca psikologi : jiwa, ruh, mental, perilaku, pengalaman, penghayatan, dan lain-lain.

Dilihat dari sejarahnya, Psikoogi Klinis kemungkinan besar merupakan wacana psikologi yang paling tua dan sekaligus merupakan akar wacana psikologi pada umumnya. Akan tetapi, dilihat dari kedudukan dan fungsi dalam hubungannya dengan psikologi sebagai cabang ilmu yang mandiri Psikologi Klinis bukanlah pilar utama ilmu psikologi. Dengan demikian tidak ada kaidah dasar Psikologi Klinis yang mendukung dan menjadi tumpuan kaidah utama psikologi umumnya. Yang ada malahan sebaliknya, wacana psikologi klinis justru berkembang berdasarkan penggunaan kaidah-kaidah psikologi.

Adapun yang termasuk pilar psikologi adalah sub-sub disiplin ilmu psikologi, yaitu Psikologi Umum, Psikologi Perkembangan, Psikologi Sosial, dan Study Kepribadian ( yang lebih dikenal dengan nama Psikologi Keporibadian). Dalam pemahaman dasarnya, Psikololgi Klinis m,erupakan ilmu yang menerapkan atau mengaplikasikan Psikologi Abnormal sebagai dasarnya. Sementara itu, Psikologi Abnormal merupakan “kelanjutan” dari Study atau Psikologi Kepribadian. Namun, sebagaimana ilmu psikologi pada umumnya, yang merupakan study tentang perilaku dan penghayatan atas pengalaman seseorang. Psikologi Klinis juga merupakan study tentang perilaku seseorang. Psikologi Klinis juga merupakan study tentang perilaku seseorang individu secara khas (particular individual).

Psikologi Klinis lahir berdasarkan pendapat Hippocrates, bahwa setiap perilaku, termasuk gejala sakit, bersumber dari otak. Selanjutnya, apa yang dimaksudkan dengan “otak” itu diperluas menjadi persyaratan, dan khusus untuk perilaku, pengertian “otak” ini disubstitrusikan dengan “psike” atau “jiwa”, “mental” atau “mind”.

Pada awalnya, Psikologi Klinis merupakan bidang kajian dan terapan kecil yang juga menyangkut bagian kecil dari psikologi secara menyeluruh. Asamen Klinis, yang sebelumnya lebih dikenal dengan diagnostika atau khusus untuk masalah-masalah psikologis disebut psikodiagnostika, merupakan upaya untuk memahami gejala-gejala yang menyangkut masalah yang dialami anak-anak. Asament Klinis ini merupakan aktiitas profesional utama yang dilakukan para praktikus Psikologi Klinis, yang saat itu kebanyakanterbatas dalam ketrampilannya. Sejumlah mioritas klinikus yang melakukan psikoterapi, melakukan di bawah supervisi psikiatris. Praktik pribadi umumnya jarang, yang dalam kegiatannyaterutama lebih banyak merupakan konsultasi psikologis daripada Psikologi Klinis yang sebenarnya. Adapun yang merupakan konsentrasi tetap, lebih banyak dikenal berperan sebagai mental tester oleh atau bagi profesi lain. Maksudnya adalah bahwa Psikolog Klinis menerima permintaan profesi lain, seperti psikiater, Psikolog Industri dan Organiasai, guru, dan profesi lain untuk melakukan tes mental terhadap klien atau pasien mereka.

Selang waktu antara tahun 1896 dan 1946 merupakan tahun-tahun penting dalam Psikologi Klinis. Pada kurun waktu tersebut, praktik maupun wacana tentang psikologi klinis mendominasi wacana psikologi pada umumnya. Penggabungan istilah “psikologi” yang terkait dengan istilah “klinik” yang artinya tempat orang berobat, pertama kali dilakukan oleh L.Witmer (Arieti,1959 & Phares, 1993). Dari penggabungan ini dapat dilihat bahwa bidang terapan ini berpijak pada dua disiplin ilmu yang berbeda yakni psikologi akademik dan kedokteran. Psikologi Klinis adalah gabungan dari Psikologi Medis (yang merupakan perkembangan dari psikiatri), dan “University Clinicss” yang didirikan oleh L. Witmer yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari mental tests dan psikologi eksperimental, atau sering juga disebut psikologi “akademik”, psikologi sebagai ilmu.

Lightner Witmer pada tahun 1896 mendirikan Klinik Psikologis atau “Psychologocal Clinic” yang pertama di Universitas Pensylvania. Oleh karena itu, tahun 1896 dianggap sebagai tahun penemuan psikologi klinis sebagai profesi. Pada klinik ini tugas psikolog ialah memeriksa anak-anak yang mengalami kesulitan menerima pelajaran. Klinik psikologi pada waktu itu tidak bergerak seagai adan pel;ayanan bagi orang sakit atau orang-orang yang mengalami gangguan penyesuaian diri. Di Universitas lain, pendirian klinik psikologis seperti itu kemusian bermunculan, antara lain klinik psikologi yang dibangun oleh Carl E. Seashore di Universitas IOWA. Pada tahun 1914 telah tercatat 19 klinik psikologi yang dibangun, dan jumlahnya meningkat tajam pada tahun 1935 hingga menjadi 87 buah klinik (Louttit, 1939).

Pada tahun 1946, barulah psikoterapi menjadi aktivitas profesional yang tetap bagi psikolog klinis. Sejak 1970-an, kebanyakan psikolog klinis melakukan kegiatan psikoterapi, sementara kegiatan asesmen atau diagnosis hanya menyita 10% saja dari keseluruhan waktu praktik yang digunakan.

Dalam kegiatan praktisnya, psikolog klinis lebih sedikit mirip psikolog pada umumnya dari pada pendeta atau manager persoalia atau dokter. Yang sama diantara mereka adalah evaluasi individu pada waktu dan pada perangkat lingkungan tertentu. Tugas utamanya adalah memahami individu secara lebih mendalam sebagai landasan untuk penanganan berikut keperluan tertentu yang telah dirancang.

Oleh karena psikologi klinis tidak mempunyai pendidikan dasar kedokteran, maka hak seorang psikolog klinis untuk memberikan psikoterapi sekiar tahun 1950-1980 seringkali dipermasalahkan. Istilah psikoterapi hanya dapat dilakukan oleh psikiaer. Ada pendidikan fomal yang biasanya dilakukan di universitas untuk tujuan memperoleh gelar, dan ada pendidikanpreaktik yang dilakukan dalam nstitusi untuk menujang ketrampilan-ketrampilan khusus yang terkait dengan psikologi dan asrsmen psikologik. Untuk pendidikan praktik, yang berperan penting ialah organisasi profesi.

Yap Kie Hien (1968) mengemukakan beberapa istilah lain untuk “Psikologi klinis.” Istilah-istilah ini tidak sepenuhnya memeliki arti yang sama karena tiap istilahmewakili aliran berbeda-beda. Istilah-istilah tersebut adalah psikopatologi, psikologi abnormal, psikologi medis, pato psikologi dan psikologi mental health.

Seperti yang telah dikemukakan bahwa psikologi klinis mencakup nasesmen, intervensi dan penelitian. Di luar negri kemantapan psikologi klinis sebagai suatu profesi dalam praktik psikologi klinis didukung oleh organisasi profesi psikologi klinis, diterbitkan jurnal yang memuat penelitian-penelitian psikologi klinis, didirikannya program study untuk psikologi klinis yang didukung organisasi profesi dan lain-lain.

Di Indonesia sendiri pendidikan psikologi dipelopri oleh Slamet Iman Santoso. Pendidikan ini diharapkan dapat membentuk suatu lembaga yang mampu menempatkan the right man in the right place, karena pada masa itu banyak kejadian di mana orang-orang yang kurang kompeten menduduki posisi penting sehingga membuat keputusan yang salah

Awal dari pendiodikan psikologi dilakukan di lembaga psikoteknik yang dipimpin oleh Teutelink yang kemudian menjadi program stiudy psikologi yang pernah bernaung di bawah brbagai fakultas di lingkungan Universitas Indonesia. Di Jakarta, mata kuliah filsafat dinaungi fakultas sastra; mata kulah statistik oleh fakultas ekonomi, dan mata kuliah faat oleh fakultas kedokteran.

Program studi psikologi kemudian pada tahun 1956-1960 menjadi jurusan psikologi pada fakultas kedokteran UI. Pada tahun 1960 psikologi menjadi fakultas yang berdiri sendiri di UI (Somadikarta et. Al. 2000). Kurikulum dan pelaksanaan program study psikologi dimulai sebelum tahun 1960, dibina oleh para pakar yang mendapat pendidikan Doktor (S3) dan Doploma dari negeri Belanda dan Jerman. Liepokliem mendirikan bagian klinis dan psikoterapi bertempat di barak I RSUP (RSCM). Yap Kie Hien mendirikan bagian psikologi eksperimen di salemba. Myra Sidharta mendirikan klinik bimbingan anak. Koestoer dan Moelyono memimpin agian psikologi kejuruan dan perusahaan (sekarang psikologi industri dan organisasi) kemudian diperkuat oleh A.S.Munandar. bagian posikologi sosial dirintis oleh Marat kemudian dipimpin oleh Z.Joesoef. setelah kepergian Liepokliem ke Australia, bagian psikologi klinis dan psikoterapi berganti nama menjadi bagian psikologi klinis dan konseling dipimpin oleh Yap Kie Hien (1960-1969). Namun dengan adanya pengertian yang luas tentang psikologi klinis, maka nama bagian psikologi klinis-konseling berganti lagi menjadi bagian psikologi klinis.

Sejak tahun 1992, pendidikan akademik dan pendidikan profesi psikolog dipisahkan untuk memungkinkan sarjana psikologi meneruskan ke bidang lain yang mereka minati. Sebelumnya, sarjana psikologi adalah juga psikolog karena pendidikan praktik digabungkan pendidikan akademik. Sejak tahun 20200, suatu forum menyepakati bahwa prasyarat bagi pendidikan profesi psikolog – agar dapat melakukan praktik psikologi – adalah tingkat S2, namun hal itu baru diberlakukan di UI saja. Forum ini terdiri dari dekan-dekan Fakultas Psikologi – yang kini mencapai 20 Fakultas Psikologi negeri dan swasta – dan organisasi Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi).

Sejak 1994, psikolog yang berpraktik – artinya memberikan konsultasi psikologi, melakukan asesmen atau psikodiagnostik, dan melakukan konseling dan terapi – diwajibkan memiliki Izin Praktik Psikolog. Izin ini diperoleh setelah mereka memperoleh rekomendasi dari oeganisasi profesi – dulu Ikatan Sarjana Psikologi, sekarang Himpsi. Izin diterbitkan oleh Departemen Tenaga Kerja (1994-2000) dan rencananya akan dikeluarkan oleh Himpsi sendiri.

Di Indonesia pendidikan profesi spesialis psikologi klinis secara formal belum diadakan, padahal sebenarnya sudah cukup banyak pakar yang berpengalaman di berbagai bidang psikologi klinis seperti terapi tingkahlaku, family therapy, counseling. Upaya untuk membuka jalur pendidikan spesialistik-profesional semestinya didukung oleh organisasi profesi (ISPSI/HIMPSI) karena pihak pemerintah – yakni Direktorat Pendidikan Tinggi Dep. Pendidikan Naisonal – lebih mengutamakan pendidikan akademik S1, S2, dan S3.

Bab III

Kesimpulan

Dari perkembangan Psikologi di dunia dan kemudian pendapat-pendapat ahli tentang psikologi,dan kemudian tentang perkembangan Psikologi Klinis di Indonesia. Dapat diambil garis besar tentang pengertian Psikologi Klinis. Psikologi Klinis adalah salah satu bidang psikologi terapan selain Psikologi Pendidikan, Psikologi Industri, dan lain-lain. Psikologi Klinis menggunakan konsep-konsep psikologi abnormal, psikologi perkembangan, psikopatologi dan psikologi kepribadian, serta prinsip-prinsip dalam assesment dan intervensi, untuk dapat memahami masalah-masalah psikologis, gangguan penyesuaian diri dan tingkah laku anormal.

Kemudian tentang perkembangan psikologi klinis di Indonesia sendiri disimpulkan bahwa perkembangan Psikologi Klinis di Indonesia masih dalam tahap pengembangan dan dapat juga dikatakan masih terpuruk dan belum maju. Hal ini dapat diketahui bahwa di Indonesia pendidikan profesi spesialis psikologi klinis secara formal belum diadakan, padahal sebenarnya sudah cukup banyak pakar yang berpengalaman di berbagai bidang psikologi klinis seperti terapi tingkahlaku, family therapy, counseling.

Hal-hal yang perlu digaris bawahi bahwa jika kita ingin mengembangkan Psikologi Klinis haruslah Upaya untuk membuka jalur pendidikan spesialistik-profesional semestinya didukung oleh organisasi profesi (ISPSI/HIMPSI) karena pihak pemerintah – yakni Direktorat Pendidikan Tinggi Dep. Pendidikan Naisonal – lebih mengutamakan pendidikan akademik S1, S2, dan S3. Dan dukungan tersebut haruslah lebih dapat disosialisasikan untuk dapat menarik minal para sarjana psikolog untuk melanjutkan ke bidang Psikologi klinis.

BAB XI

DAFTAR PUSTAKA

Wiramihardja,Prof.Dr.Sutardjo S.(2004).Psikologi “Pengantar Psikologi Klinis”.Refika aditama : Bandung

Slamet, Suprapti I.S-Sumarmo Markam. (2003). Pengantar Psikologi Klinis. UI Press : Jakarta

Terapi Gangguan Jiwa

Terapi Gangguan Jiwa

Pengaruh Opini Publik terhadap Teori, Diagnosis dan Terapi Gangguan Jiwa *

Abstrak

Teori, diagnosis dan terapi ganguan jiwa (termasuk skizofrenia) ternyata berubah dari masa ke masa. Hal ini sangat dipengaruhi oleh konstelasi sosial, budaya, bahkan politik pada masa yang terkait. Tidak mengherankan jika satu gejala dapat didiagnosis berbeda-beda pada masa yang berbeda dengan konsekuensi perbedaan teknik terapi (dulu harus dimasukkan lembaga perawatan, sekarang bisa berobat jalan), bahkan dengan kemungkinan salah diagnosis dan salah terapi (didagnosis sakit padahal sehat, didiagnosis tidak ada gangguan padahal pembunuh serial). Pengaruh publik opini (awam, termasuk media massa) sangat besar, karena ternyata para ilmuwan (termasuk dokter dan psikolog) sendiri bisa terpengaruh oleh opini publik tersebut. Kerancuan akan makin menjadi-jadi karena perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat akan menyebabkan pergantian norma berlangsung sangat cepat sehingga para ilmuwan lebih mudah terpengaruh dan kehilangan pegangan. Untuk mengatasinya, para ilmuwan (khususnya para psikiater dan psikolog) sendiri harus tetap memegang teguh disiplin ilmu agar bisa selalu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi yang paling tepat dan selanjutnya mempengaruhi opini publik (bukan dipengaruhi oleh opini publik)

Pendahuluan

Ketika saya masih mengikuti kuliah "Psikologi Abnormal" dan "Psikoterapi" dan berpraktek di Bagian Kedokteran Jiwa RSCM, Jakarta, di tahun 1965-1967, dan juga dari berbagai literatur yang saya baca sampai pertengahan tahun 1970-an saya selalu diberitahu bahwa Multiple Personality Disorder/MPD (dulu namanya Split Personality dan sekarang ada beberapa literatur yang menyebutnya Dissociative Identity Disorder/DID (McCaghy, Capron & Jamieson, 2002; Gleaves, 1996)) sebagai salah satu bentuk skizofrenia (yang oleh awam sering disebut "gila", "sinting", "edan" atau "sarap"), yang gejalanya antara lain adalah adanya waham (delusi), halusinasi dan flight of ideas. Karena itu cara bicara seorang skizofren tidak mudah dimengerti ("ngaco"), perbuatannya bizarre (tidak karuan), bahkan bisa berbahaya (menyerang orang lain dsb.), sehingga mereka perlu dirawat-inapkan di Rumah Sakit Jiwa (di Jakarta, yang paling dikenal dan selalu diberi konotasi negatip adalah RSJ Grogol). Maka tidak mengherankan jika orang (awam maupun ilmuwan) percaya bahwa penyandang MPD-pun bisa berperilaku bizarre dan berbahaya seperti yang digambarkan dalam film-film "Mr Hyde & Dr Jeckyl", "Psycho" dan sebagainya.

Akan tetapi kenyataan yang ada sekarang tidaklah demikian. Saya sendiri sejak awal 2001 sampai saat artikel ini ditulis, masih menangani satu kasus MPD. Kasus ini tahun lalu (ketika itu masih SMU kelas II) dibawa kepada saya karena kedapatan sedang mengiris-iris lengannya dengan cutter dan menolak untuk dibawa ke psikiater karena tidak mau discanning. Tetapi sekarang (sudah kuliah), remaja putri yang IQ-nya 147 dan sangat pandai menggambar ini, sudah tidak lagi mengirisi lengannya (berhenti setelah 2 kali konsultasi) dan sudah mulai bisa bersosialisasi dengan kawan-kawan chatting (internet)-nya dan sekarang dengan teman-teman kuliahnya (jurusan disain grafis). Di luar itu, kasus ini adalah anak yang selalu nampak normal dan selalu berprestasi tinggi walaupun jarang ngobrol dengan orangtuanya dan cenderung menyendiri dengan komputernya. Psikoterapi masih terus dilanjutkan dengan sasaran untuk lebih mengenali 6-10 kepribadian (sulit diidentifikasi karena hilang-timbul) dalam diri kasus dan mengupayakan rekonsiliasi di antara mereka (untuk sementara mereka belum mau berintegrasi). Dengan perkataan lain, sosok MPD seperti yang digambarkan dalam film-film (dan juga telenovela dan sinetron), sama sekali tidak nampak pada diri kasus.

Sosok MPD yang jauh berbeda dari yang digambarkan oleh media massa, ternyata tidak hanya terdapat pada kasus saya tsb. Ketika saya menterjemahkan buku Sybil saya mendapati bahwa dokter Wilbur, psikiater yang menangani pasien dengan 16 kepribadian ini, tidak mendiagnosis Sybil dengan skizofrenia, melainkan sebagai dissociative personality (Schreiber, 1974: 324). Demikian pula Karl May, penulis buku-buku petualangan yang sangat terkenal (petualangan Old Shutterhand dengan "bedil perak"-nya di benua Amerika, di sudut-sudut Balkan dan di Aceh), adalah seorang MPD yang buta sejak kecil dan tidak pernah keluar dari kampung halamannya. Juga E.T. Aul yang dalam otobiografinya bisa menyatakan bahwa para dokternya yang semuanya sangat professional itu tahu bahwa ia mengalami gejala MPD, tetapi tetap berkeras mendiagnosisnya sebagai skizofrenia, karena pada waktu itu (tahun 1940-an) MPD tidak ada dalam ketegori diagnosis psikiatri, sehingga bagaimana pun juga Aul tidak dapat didiagnosis sebagai MPD (Aul, 1996: 65). Jadi, keempat sosok MPD ini (termasuk kasus saya sendiri) jelas bukan skizofrenia, apalagi yang berberilaku agresif dan destruktif seperti yang digambarkan oleh media massa. Mereka justru orang-orang yang sangat pandai, kreatif dan banyak membaca (pada umumnya MPD memang berciri seperti itu), yang kebetulan pernah mengalami trauma mental di masa kecilnya (sebagai salah satu indikator dan prediktor MPD, lihat: Glaves, 1996)

Teori labelling

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai orangtua yang menyebut anaknya. "Nakal". Tidak jarang sebutan itu dilontarkan demikian saja, tanpa alasan yang jelas (kadang-kadang hanya untuk menunjukkan bahwa orangtua tidak memanjakan anak). Akibatnya adalah bahwa anak yang awalnya tidak bermasalah bisa sungguh-sungguh menjadi masalah karena selalu diberi stigma nakal. Dalam psikologi, penyesuaian diri pada stigma ini didasari oleh proses modeling, reinforcement atau conditoning yang analog dengan proses conditioning pada anjing Pavlov (lihat: Sarwono, 1998), sedangkan psikolog Thomas J. Scheff menamakannya teori labelling (dalam McCaghy, Capron & Jamieson, 2002: 348-349).

Teori labelling ini pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-orang lain (orangtua, keluarga, masyarakat) menilainya. Penilaian itu ditentukan oleh kategorisasi yang sudah melekat pada pemikiran orang lain tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk ke dalam kategori-kategori yang sudah dianggap baku oleh masyarakat (dinamakan: residual) otomatis akan dianggap menyimpang. Karena itulah orang bisa dianggap sakit jiwa hanya karena berbaju atau bertindak "aneh" pada suatu tempat/masa tertentu. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya.

Tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa yang terkena pengaruh labelling ini bukan hanya awam (khususnya pasien atau subyek), melainkan juga ilmuwan (termasuk para dokter dan psikolog sendiri). Anggota Kongres AS yang terkemuka, Barry Goldwater, misalnya, pernah didiagnosis sebagai "skizofrenia paranoid"; presiden AS dan pemenang hadiah Nobel Woodrow Wilson, pernah didiagnosis sebagai "sangat mirip psikosis"; dan semua politisi Uni Sovyet yang menjalani pemeriksaan psikiatrik didiagnosis sebagai "kepribadian psikopat", "cenderung paranoid" atau "skizofrenia" dengan simptom-simptom: "idea reformis, perilaku bizarre, emosi datar, emosi tak adekwat, tidak kritis pada situasi, mau benar sendiri, bereaksi tidak sesuai dengan situasi dan kecenderungan untuk memoralisasi segala sesuatu" (McCaghy, Capron & Jamieson, 2002: 356).

Perubahan teknik terapi

Psikiater Emil Kraepelin pada awal abad ke XX menamakan skizofrenia dengan istilah dementia precox, karena ia menemukan gejala kemunduran (dementia) tidak pada usia lanjut (dementia senilis) seperti biasanya, melainkan pada usia remaja (precox) (Southard, 1915; Sarwono, 1998).

Istilah skizofrenia kemudian digunakan untuk lebih menggambarkan penyakit yang bukan sekedar dementia, melainkan juga terjadi perpecahan kepribadian (schism), yaitu tidak seiringnya lagi pikiran, emosi dan perbuatan penderita. Awalnya penanganan terhadap penyakit ini harus dilakukan di institusi (RSJ), karena jika hanya dirawat dengan berobat jalan, sangat boleh jadi pasien akan membahayakan orang lain atau dirinya sendiri. Akibatnya berbagai insitusi di Amerika Serikat (dan juga di Indonesia) makin penuh sesak dengan pasien rawat-inap, karena pada umumnya mereka harus dirawat untuk jangka waktu yang lama. Namun sejak 1955, terjadi revolusi psikiatri dengan ditemukannya obat-obat yang bisa mengurangi gejala penyakit ini (lithium, antipsikotik, tranquilizers dll.), sehingga jumlah pasien rawat inap di Amerika Serikat menurun drastik (McCaghy, Capron & Jamieson, 2002: 353; Byalin, Jed & Lehman, 1985).

Penyebab lainnya adalah telah dikembangkannya teknik-teknik psikoterapi baru untuk mengurangi gejala-gejala skizofrenia, seperti peer therapy (Stewart, van Houten & van Houten, 1992), pemanfaatan input dari pasien sendiri (Davidson, et al. 1997), teknik reinforcement yang dinamakan priming untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan dari pasien-pasien skizofrenia kronis (O'Brien, Azrin & Henson, 1969), dan teknik reinforcement lain untuk mengurangi gejala latah/echolalia (Schreibman, Carr, 1978) dan sebagainya.

Walaupun demikian, perubahan dalam teknik-teknik terapi ini tidak selalu berhasil. Teknik reinforcement untuk mengurangi delusional speech pada penderita skizofrenia kronis rawat inap, misalnya, hanya berhasil pada sesi-sesi terapi (wawancara, diskusi kelompok dsb.), tetapi tidak berpengaruh pada perilaku sehari-hari pasien di institusi (Liberman, et al, 1973). Bahkan ada kalanya dokter salah memperlakukan pasien dengan merawat paksa orang normal[1] atau justru membebaskan pasien yang berbahaya[2] (McCaghy, Capron & Jamieson, 2002: 357).

Catatan kaki

[1] Pada tahun 1962, Leonard Frank membuat risau orangtuanya karena agama baru dan pandangan politiknya yang aneh, termasuk tidak mau mencukur rambut dan jenggot serta tiba-tiba menjadi vegetarian. Leonard dipaksa masuk RSJ, didiagnose sebagai skizofrenia paranoid dan diobati dengan insulin coma dan terapi electroconvulsive dengan akibat ia menderita amnesia. Kemudian ia menjadi aktivis LSM anti perawatan paksa.

[2] Pada tahun 1964, pada usia 15, Edmund Kemper membunuh kedua kakek-neneknya dan dirawat di RSJ dengan diagnosis criminally insane. Pada tahun 1969 ia dinyatakan sembuh dan dilepaskan. Pada tahun 1972 ia minta diklarifikasi catatan kriminalnya yang berarti ia harus menjalani pemeriksaan psikiatrik. Sementara itu ia membunuh lagi dan memutilasi 2 gadis remaja dan 3 hari setelah pembunuhan itu para psikiater pengadilan mendiagnosisnya sebagai tidak berbahaya lagi bagi masyarakat. Setelah itu ia membunuh lagi 2 gadis dan pada tahun 1973 ia membunuh lagi 2 gadis dan ibunya sendiri.

Perubahan paradigma

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah teori yang bagaimana yang seharusnya dipakai? Paradigma mana yang benar?

Pertanyaan ini sangat sulit dijawab, karena pada hakikatnya upaya diagnosis pada pasien-pasien psikiatrik sangat tergantung pada norma dan konstelasi sosial, budaya, bahkan politik yang berlaku pada saat itu, sebagaimana tampak pada contoh-contoh yang sudah disebutkan di atas. Karena itulah dari tahun ke tahun, selalu terjadi berbagai perubahan drastik dalam diagnosis psikiatrik. Pada tahun 1915, misalnya, sebuah review tentang berbagai publikasi tentang psikopatologi yang terbit antara tahun 1913-1914 sudah menunjukkan berbagai kontroversi yang ada ketika itu (dementia precox vs skizofrenia, kategorisasi skizofrenia, normal vs abnormal, teori co-consciousness, etiologi feeble minded dsb.) (Southard, 1915). Demikian pula diagnosis anxiety neurosis pada tahun 1950-an, dinamakan affective disorders pada tahun 1970-an (McCaghy, Capron & Jamieson, 2002: 356) dan kategorisasi utama penyakit-penyakit dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders/DSM IV (yang berlaku sejak 1994 sampai sekarang) berjumlah 16 jenis, yaitu bertambah 10 jenis dari DSM III-R (1987) (McCaghy, Capron & Jamieson, 2002: 338).

Perubahan-perubahan paradigma ini juga tidak terlepas dari temuan-temuan berbagai penelitian yang sangat divergen. Dalam sebuah penelitian, misalnya, skizofrenia dianalogikan dengan perusahaan yang mengalami berbagai konflik organisasi (Sheppard, 1992). Penelitian lain menemukan pengaruh yang besar dari faktor lingkungan keluarga (Fontana, 1966; Rosenthal, 1962), tetapi penelitian yang lebih mutakhir menyatakan bahwa tidak cukup bukti tentang faktor keluarga ini (Guirguis, 1980) dan bahwa faktor genetik lebih besar pengaruhnya ketimbang faktor kultural (Faraone & Tsuang, 1985), bahkan merupakan faktor utama (Clementz & Sweeney, 1990). Penelitian lain lagi menyangkal adanya pengaruh yang besar dari faktor-faktor demografik dan biografik terhadap keberhasilan penyesuaian diri dari pasien-pasien skizofrenia dalam masyarakat (Morguelan, Michael & Allen, 1978). Kontroversi juga terjadi pada penelitian tentang etiologi autisme pada bayi (Early Infantile Autism), yaitu antara overstimulation dan understimulation (Ward, 1970), sementara kriteria autism itu sendiri pun masih dipertanyakan (Rimland, 1972; L'abate, 1972).

Penelitian-penelitian dalam bidang MPD/DID (yang pernah dikategorisasikan ke dalam skizofrenia) juga menampakkan kontroversi. Sebagian psikolog berpendapat bahwa MPD/DID adalah sebuah konstruk sosio-kognitif pada penderita, yaitu bahwa pasien yang bersangkutan hanya meniru atau menyesuaikan diri pada harapan orang lain atau model yang dihadapinya (Spanos, 1994), sementara psikolog lain pada umumnya masih berpendapat bahwa etiologi MPD/DID adalah trauma masa lalu, khususnya masa kanak-kanak. Penerapan paradigma sosio-kognitif pada psikoterapi dianggap berbahaya karena mengabaikan faktor trauma masa lalu terebut (Gleaves,1996)[3]. Penelitian lain tentang MPD/DID adalah bahwa meskipun banyak psikoterapis yang percaya bahwa MPD/DID disebabkan oleh child abuse yang berkaitan dengan ritual-keagamaan, sebuah survai terhadap 2.722 anggota APA (American Psychological Association) yang berpraktek klinis hanya mendapati 803 kasus yang seperti itu (Bottoms, Shaver & Goodman, 1996). Bahkan kontroversi, khususnya ketidak sepahaman para pakar sendiri di bidang MPD/DID ini telah menimbulkan keraguan pada pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat tentang kesahihan alibi MPD/DID untuk membebaskan para terdakwa dari tuntutan hukum (Radwin, 1991).

Catatan kaki

[3] Pada kasus MPD yang saya terapi memang ada gejala bahwa subyek/pasien meniru tokoh-tokoh komik yang menjadi hobinya (sosio-kognitif) yaitu dengan menggunakan nama-nama yang mirip dengan nama-nama tokoh komik sebagai nama-nama berbagai kerpibadian dalam dirinya. Namun yang menjadikan awal pertama disosiasi kepribadiannya adalah peristiwa traumatik(diduga sexual abuse) ketika subyek yang introvert ini duduk di SMP kelas III

Diskusi dan kesimpulan

Sebagian peneliti berpendapat bahwa kontroversi tentang skizofrenia (yang sangat boleh jadi berlaku juga bagi gangguan jiwa pada umumnya) disebabkan oleh keterbatasan metodologi penelitian itu sendiri. Misalnya: fokus penelitian masih lebih mengutamakan dampak skizofrenia dari pada etiologinya, penelitian masih lebih banyak dilakukan terhadap pasien-pasien skizofrenia sendiri ketimbang kasus-kasus normal yang berisiko tinggi untuk menderita skizofrenia dan dalam penelitian tentang skizofrenia sendiri kendala timbul karena struktur keluarga bisa berubah-ubah dan menjadi berbeda dari kondisi awal ketika penyakit mulai timbul. Selain itu, penelitian terhadap masa kanak-kanak pasien meamng sangat dibutuhkan, namun terkendala oleh terbatasnya dan bias-nya informasi yang dapat diperoleh karena faktor waktu dan keterbatsan memori (Mednick & McNeil, 1968).

Namun, terlepas dari kendala metodologi itu, harus diakui bahwa skizofrenia adalah penyakit yang mengandung banyak muatan sosial. Karena itu tidak bisa diingkari adanya pengaruh opini publik yang sedang marak pada suatu saat dan tempat tertentu. Jika di Amerika Serikat dan Uni Sovyet, presiden, anggota kongres, pemenang hadiah nobel bisa didiagnosis sebagai penderita gangguan jiwa, di Indonesia pun Bung Karno bisa dinyatakan berindikasi waham kebesaran, Suharto berwaham kekuasaan, Gus Dur menunjukkan gejala flight of ideas atau sleep disorder (karena sering tertidur di sidang kabinet dan MPR) dan Habibie dan Megawati bisa dianggap kurang peka lingkungan. Di sisi lain, semua anggota DPR juga bisa dinyatakan mengidap flight of ideas karena inkonsistensi pemikiran-pemikiran mereka[4], bahkan Gus Dur semasa menjadi presiden pernah menamakan anggota-anggota DPR ini sebagai Taman kanak-kanak (dalam istilah psikologi abnormal: Feeble Minded).

Di era globalisasi ini, pengaruh opini publik akan makin menyulitkan para psikiater dan psikolog untuk menegakkan diagnosis skizofrenia atau gangguan jiwa lainnya, karena perubahan yang berlangsung di seluruh dunia berlangsung cepat sekali, yaitu yang menyangkut perubahan teknologi informasi (informasi dapat ditransformasikan dalam hitungan detik dari seluruh pelosok dunia ke pelosok dunia lainnya), revolusi teknologi nano (sehingga dapat diciptakan alat-alat mikro dibidang kedokteran, komunikasi dsb.) dan tekonologi genome (yang memungkinkan kloning dan pengobatan penyakit-penyakit degeneratif). Dampak dari itu semua adalah perubahan drastis pada norma-norma dan nilai-nilai sosial. Hal-hal yang di masa lalu pernah dianggap abnormal (seks pranikah, penerbang atau dokter bedah wanita, homoseksual, single parent, perawan tua dsb.), sekarang dianggap normal. Sementara yang dulu pernah dianggap normal (keluarga besar, keperawanan, ritual keagamaan, dsb.) sekarang justru dianggap aneh. Hal-hal yang dulu dianggap normal di negara-negara Barat (fast food, busana terbuka pada wanita, berpelukan di tempat umum, musik funky, hashish, bicara to the point) sekarang dianggap biasa di Timur (termasuk Indonesia), sebaliknya yang dulu hanya dilakukan oleh orang Timur (kepercayaan/agama, upacara perkawinan, seni musik dan seni rupa, busana tradisional dsb.) mulai merebak di kalangan orang Barat. Sebagai akibatnya makin sulit dilakukan klasifikasi antara normal dengan abnormal, apalagi skizofrenia dengan MPD/DID atau ketegori gangguan jiwa lainnya.

Demikian pula akan semakin rumit untuk menentukan etiologi penyakit, karena makin majemuknya kondisi lingkungan sekarang disbanding dulu. Jika dulu, di desa-desa terpencil didapati seorang penderita skizofrenia (biasanya dipasung oleh keluarganya) dokter dengan mudah dapat menemukan adanya faktor keturunan pada kasus tersebut. Namun sekarang, di kota-kota besar, dengan tekonologi komunikasi yang menyebabkan tidak ada lagi batas-batas negara dan budaya (borderless world) sulit untuk membedakan pasien-pasien yang disebabkan oleh faktor genetik dari yang disebabkan oleh faktor lain, misalnya: culture shock.

Namun bagaimanapun juga, selalu perlu dijaga agar dunia ilmu dan profesi (dalam hal ini kedokteran, psikiatri dan psikologi) tidak tercemari oleh opini publik yang awam, apalagi yang sudah tersusupi oleh berbagai kepentingan (politik, komersial dsb[5].). Opini publik tidak akan pernah dan tidak mungkin disuruh berhenti berkembang dan berubah. Dalam hubungan itu, para ilmuwan dan profesionallah yang harus berusaha mempengaruhi opini publik, bukan sebaliknya. Untuk itu perlu selalu dipertahankan sikap ilmiah yang obyektif, kritis terhadap teori-teori dan metodologi sendiri dan selalu terbuka terhadap wawasan yang datang dari orang lain. Selain itu ada baiknya kalau para ilmuwan dan professional selalu mengacu pada anjuran Sir Francis Bacon untuk menghindari sesat pikir yang ditimbulkan oleh idola-idola, yaitu idola tribus (golongannya sendiri yang benar), idola specus (saya sendiri yang benar), idola theatri (pakar selalu benar) dan idola fori (pendapat umum selalu benar) (Sarwono, 1998).

Catatan kaki

[4] Contoh: Megawati dinyatakan tidak layak menjadi presiden, ketika Gus Dur yang menderita beberapa penyakit fisik hendak dijadikan presiden (1999), tetapi beberapa saat kemudian (2001) Megawati tiba-tiba menjadi layak jadi presiden, sementara Gus Dur tidak layak karena pernah stroke dan tidak dapat melihat; Pansus Bulogate I dibuat oleh DPR untuk menjatuhkan Gus Dur (walaupun sudah ada keputusan pengadilan yang membebaskan Gus Dur), tetapi Pansus Bulogate II tidak dibentuk dengan alasan sudah di proses di pengadilan, walau pun akhirnya Akbar Tanjung dinyatakan bersalah (dan yang bersangkutan tetap dipertahakan sebagai Ketua DPR dan Ketua Golkar).

[5] Misalnya: pernah ada gagasan untuk memeriksa kesehatan mental (antara lain dengan psikotes) semua calon anggota DPR/DPRD). Walaupun ada peraturan yang memungkinkannya, pelaksanaan gagasan ini akan melibatkan para professional (psikiater dan psikolog) ke dalam politik praktis atau bahkan politik uang

Kepustakaan

  • Aul, E.T., 1996, As You Desire Me: The Psychology of Multiple Personality, Seattle: JH White Pubs Co
  • Bottoms, B.L., Shaver, P.R. & Goodman, G.S., 1996, An Analysis of Ritualistic and Religion-related Child Abuse Allegations, Law and Human Behavior, Feb Vol 20 (1) 1-34
  • Byalin, K., Jed, J. & Lehmann, S., 1983, Designing and Evaluating Intervention strategies for Deinstitutionalized mental patients, International Review of Applied Psychology, Jul Vol 34 (3) 381-390
  • Clementz, B.A., & Sweeney, J.A., 1990, Is Eye Movement Dysfunction a Biological Marker for Schizophrenia? A Methodological Review, Psychological Bulletin, Jul Vol 108 (1) 77-92
  • Davidson, L., Stayner, D.A., Lambert, S., Smith, P. & Sledge, W.H., 1997, Phenomenological and Participatory Research on Schizophrenia: Recovering the Person in Theory and Practice, Journal of Social Issues, Win Vol 53 (4) 767-784
  • Faraone, S.V. & Tsuang, M.T., 1985, Quantitative models of the genetic transmission of Schizophrenia, Psychological Bulletin, Jul Vol 98 (1) 41-66
  • Fontana, A.F., 1966, Familial Etiology of Schizophrenia: Is a Scientific Methodology Possible?, Psychological Bulletin, 66n(3) 214-227

    ?
  • Gellen, M.I., Hoffman, R.A., Jones, M., & Stone, M., 1984, Abused and nonabused women: MMPI Profile differences, Psychological Bulletin, Jun Vol 62 (10) 601-604
  • Gleaves, D.H., 1996, The Sociocognitive model of Dissociative Identitiy Disorder: A Reexamination of the Evidence, Psychological Bulletin, Jul Vol 120 (1) 42-59
  • Guirguis, W.R., 1980, The Family and Schizophrenia, Psychological Bulletin, Jul Vol 10 (7) 45-54
  • L'Abate, L., 1972, Early Infantile Autism: A Reply to Ward, Psychological Bulletin, Jan Vol 77 (1) 49-51
  • Liberman, R.P., Teigen, J., Patterson, R. & Baker, V., 1973, Reducing Delusional Speech in Chronic, paranoid schizophrenics, Journal of Applied Behavior Analysis, Spr Vol 6 (1) 57-64
  • McCaghy, C.H., Capron, T.A. & Jamieson, J.D., 2002, Deviant Behavior: Crime. Conflict and Interest Groups, Boston: Allyn & Bacon
  • Mednick, S.A. & McNeil, T.F., 1968, Current Methodology in Research on Etiology of Schizophrenia. Serious difficulties which suggest the use of the high-risk-group Method, Psychological Bulletin, 70 (6, Pt 1) 681-693)
  • Morguelan, F.N., Michael, W.B. & Allen, R.E., 1978, The design and Development of a Measure consisting of Demographic-biographical and Symptom-related items for Prediction of Community Adjustment of Schizophrenia patients, Educational & Psychological Measurement, Sum Vol 38 (2) 491-499
  • O'Brien, F., Azrin, N.H. & Henson, K., 1969, Increased Communications of Chronic Mental Patients by Reinforcement and by Response Priming, Journal of Applied Behavior Analysis, 2 (1) 23-29
  • Radwin, J.O., 1991, The Multiple Personality Disorder: has this trendy alibi lost its way?, Law & Psychology Review, Spr Vol 15 351-373
  • Rimland, B., 1972, Comment on Ward's "Early Infantile Autism", Psychological Bulletin, Jan Vol 77 (1) 52-53
  • Rosenthal, D., 1962, Familial Concordance by sex with respect to Schizophrenia, Psychological Bulletin, 59 (4) 401-421
  • Sarwono, S.W., 1998, Berkenalan dengan tokoh-tokoh dan aliran-aliran Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang
  • Schreiber, F.R., 1973, Sybil, penterjemah: Sarlito W. Sarwono, 1984, Jakarta: Sinar Harapan
  • Schreibman, L. & Carr, E.G., 1978, Elimination of Echolalic Responding to Questions through the Training of a Generalized Verbal Response, Journal of Applied Behavior Analysis, Win, Vol 11 (4) 453-463
  • Sheppard, B.H., 1992, Conflict Research as Schizophrenia: The many Faces of Organizational Conflicts, Journal of Organizational Behavior, May Vol 13 (3) 325-334
  • Southard, E.E., 1915, General Reviews and Summaries: General Psychopathology, Psychological Bulletin, Jul Vol 12 (7) 245-273
  • Spanos, N., 1994, Multiple Identity Enactments and Multiple Personality Disorder: A Sociocognitive Perspective, Psychological Bulletin, Jul Vol 116 (1) 143-165
  • Stewart, G., Van Houten, R., & van Houten, J., 1992, Increasing Generalized Social Interactions in Psychotic and Mentally Retarded residents through pre-medicated therapy, Journal of Applied Behavior Analysis, Sum Vol 25 (2) 335-339
  • Ward, A.J., 1970, Early Infantile Autism: Diagnosis, etiology, and Treatment, Psychological Bulletin, 73 (5) 350-362

MUSIK MERUPAKAN STIMULASI TERHADAP KESEIMBANGAN ASPEK KOGNITIF DAN KECERDASAN EMOSI

MUSIK MERUPAKAN STIMULASI TERHADAP KESEIMBANGAN ASPEK KOGNITIF DAN KECERDASAN EMOSI

MUSIK MERUPAKAN STIMULASI TERHADAP
KESEIMBANGAN ASPEK KOGNITIF DAN KECERDASAN EMOSI

Musik memberikan banyak manfaat kepada manusia atau siswa seperti merangsang pikiran, memperbaiki konsenstrasi dan ingatan, meningkatkan aspek kognitif, membangun kecerdasan emosional, dll. Siswa yang mendapat pendidikan musik jika kelak dewasa akan menjadi manusia yang berpikiran logis, sekaligus cerdas, kreatif, dan mampu mengambil keputusan, serta mempunyai empati. Namun, pendidikan formal di Indonesia tidak menekankan keseimbangan antara aspek intelektual dan emosi. Keadaan ideal ini dapat dilaksanakan dengan mengadakan pembenahan untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia melalui kurikulum pendidikan musik sebagai mata pelajaran wajib di tingkat SD dan SLTP.

1. Latar belakang.

Semua bangsa maju di dunia seperti Jerman, Amerika, Jepang, Inggris, Australia dan negara Eropa pada umumnya adalah bangsa yang musical. Pengertian musikal yang dimaksud disini adalah pertama dapat memainkan instrumen musik atau menyanyi dengan baik, pengertian kedua tidak dapat bermain musik atau menyanyi dengan baik, tetapi dapat mengapresiasikan musik. Disini dimana musik diperhatikan benar oleh Negara-negara tersebut dimana dibuktikan dengan smua sekolah unggulan memasukkan mata pelajaran musik sebagai materi wajib intrakurikuler dan diperkaya dengan kegiatan ekstrakurikuler, dimana materi pelajaran musik yang diajarkan meliputi musik universal dan musik tradisional, dan nampak hasil pembelajaran siswa-siswa sekolah unggulan tersebut pun rata-rata sangat baik.

Namun kurikulum nasional di Indonesia, hanya menekankan perkembangan intelektual semata dan kurang memperhatikan perkembangan kecerdasan emosi. Hal ini tampak dengan banyaknya tawuran pelajaran di tingkat sekolah menengah dan tingkat lanjutan pertama, siswa sekolah dasar terbebani dengan padatnya mata pelajaran yang harus dihafal dan yang harus dikerjakan sehingga pembelajaran menghapus keceriaan anak pada masa perkembangannya.Kurikulum pendidikan formal di Indonesia hanya menekankan perkembangan intelektual semata dan tidak memperhatikan perkembangan kecerdasan emosi. Melihat alokasi waktu mata pelajaran musik setiap minggu hanya waktu 2 x 45 menit, (GBPP kurikulum mata pelajaran kesenian 1994) yang masih terbagi dengan mata pelajaran seni tari, seni rupa, dan kerajinan tangan.Need Assessment (Mudhoffir) menemukan perbedaan (discrepancy) antara apa yang ada sekarang dan apa yang idealnya diinginkan ada.

2. Tujuan

1. Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan ilmu pengetahuan tentang teori peran pendidikan musik esensial diberikan dalam pendidikan integral agar peserta didik dapat memperoleh keseimbangan fungsi otak kiri dan kanan yang merupakan pendidikan humanis.

2. Mencari solusi dalam rangka untuk memperbaiki penyimpangan krisis moral yang terjadi pada siswa-siswa sekolah.

3. Memberikan sumbangan pemikiran kepada penentu kebijakan kurikulum Depdiknas agar memasukkan pendidikan musik ke dalam kurikulum nasional di tingkat pendidikan dasar.

3. Kajian Teori

Penelitian menunjukkan bahwa musik dapat memberikan rangsangan-rangsangan yang kaya untuk segala aspek perkembangan secara kognitif dan kecerdasan emosional (EQ).

i. Musik Memberikan Rangsangan Terhadap Aspek Kognitif (Matematik)

*Kognitif merupakan semua proses dan produk pikiran untuk mencapai pengetahuan yang berupa aktivitas mental seperti mengingat, mensimbolkan, mengkategorikan, memecahkan masalah, menciptakan dan berfantasi.

*Mengacu pada perkembangan kognitif dari Piaget (1969) dalam teori belajar yang didasari oleh perkembangan motorik, maka salah satu yang penting yang perlu distimulasi adalah keterampilan bergerak.

Gallahue, (1998) mengatakan, kemampuan-kemampuan yang mengacu pada perkembangan kognitif dari Piaget (1969) seperti ini makin dioptimalkan melalui stimulasi dengan memperdengarkan musik klasik. Rithme, melodi, dan harmoni dari musik klasik dapat merupakan stimulasi untuk meningkatkan kemampuan belajar anak. Melalui musik klasik anak mudah menangkap hubungan antara waktu, jarak dan urutan (rangkaian) yang merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk kecakapan dalam logika berpikir, matematika dan penyelesaian masalah.

Herry Chunagi (1996) Siegel (1999), yang didasarkan atas teori neuron (sel kondiktor pada sistem saraf), menjelaskan bahwa neuron akan menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik, rangsangan yang berupa gerakan, elusan, suara mengakibatkan neuron yang terpisah bertautan dan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak. Semakin banyak rangsangan musik diberikan akan semakin kompleks jalinan antarneuron itu. Itulah sebenarnya dasar adanya kemampuan matematika, logika, bahasa, musik, dan emosi pada anak.

Gordon Shaw (1996) dalam newsweek (1996) mengatakan kecakapan dalam bidang yakni matematika, logika, bahasa, musik dan emosi bisa dilatih sejak kanak-kanak melalui musik.

*Musik berhasil merangsang pola pikir dan menjadi jembatan bagi pemikiran-pemikiran yang lebih kompleks.

Martin Gardiner (1996) dalam Goleman (1995) dari hasil penelitiannya mengatakan seni dan musik dapat membuat para siswa lebih pintar, musik dapat membantu otak berfokus pada hal lain yang dipelajari.

Daryono Sutoyo, Guru Besar Biologi UNS Solo, melakukan penelitian (1981) tentang kontribusi musik yaitu menstimulasi otak, mengatakan bahwa pendidikan kesenian penting diajarkan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) agar peserta didik sejak dini memperoleh stimulasi yang seimbang antara belahan otak kiri dan belahan otak kanannya. Implementasi dari penelitian tersebut, pendidikan kesenian sewaktu di SD mempengaruhi keberhasilan studi pada pendidikan berikutnya.

ii. Musik sebagai pendekatan belajar

*Berbagai sirkuit pada otak mempunyai waktu perkembangan yang berbeda-beda. Merangsang anak pada waktu masa perkembangan yang tepat bisa memaksimalkan kemampuannya. Kemampuan matematika dan logika ada dalam korteks otak yang berdekatan dengan kemampuan musik dengan masa pembentukan 0 – 4 tahun

iii. Musik dan kecerdasan emosi

*Para ilmuwan sering membicarakan bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu korteks, (kadang-kadang disebut neokorteks) sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurangi emosi yaitu sistem limbik. Padahal keduanya mempunyai hubungan. Interaksi yang disebabkan rangsangan bunyi musik yang menentukan kecerdasan emosional.

*Proses mendengar musik merupakan salah satu bentuk komunikasi afektif dan memberikan pengalaman emosional. Emosi yang merupakan suatu pengalaman subjektif yang inherent terdapat pada setiap manusia. Untuk dapat merasakan dan menghayati serta mengevaluasi makna dari interaksi dengan lingkungan, ternyata dapat dirangsang dan dioptimalkan perkembangannya melalui musik sejak masa dini.

4. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Peter Salovey dan John Mayer (1990) dalam Shapiro (1997) menerangkan kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan kualitas ini adalah kemampuan mengenali emosi diri. Mereka mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah :

1. Kemampuan mengenali emosi diri

Merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul, dan ia mampu mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap.

Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara wajar.

2. Kepekaan

Kepekaan adalah unsur yang penting guna mengerahkan kepribadian dan meningkatkan kualitas hidup. Seseorang memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka maka ia akan dapat mengambil keputusan-keputusan secara mantap dan membentuk kepribadian yang tangguh. Kepekaan akan rasa indah timbul melalui pengalaman yang dapat diperoleh dari menghayati musik

3. Kemampuan motivasi

Kemampuan motivasi adalah kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat.

4. Kemampuan membina hubungan

Bersosialisasi sama artinya dengan kemampuan mengelola emosi orang lain. Evelyn Pitcer dalam Kartini (1982) mengatakan musik membantu anak-anak untuk mengerti orang lain dan memberikan kesempatan dalam pergaulan sosial dan perkembangan terhadap emosional mereka.

5. Kemampuan untuk mengelola emosi orang lain

Sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul. Melalui belajar kelompok (group) dituntut untuk bekerjasama, mengerti orang lain.

Kecerdasan emosional perlu dikembangkan karena hal inilah yang mendasari keterampilan seseorang di tengah masyarakat kelak, sehingga akan membuat seluruh potensi anak dapat berkembang secara lebih optimal.

Idealnya seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial emosional. Daniel Goleman (1995) melalui bukunya yang terkenal "Emotional Intelligences (EQ)", memberikan gambaran spectrum kecerdasan, dengan demikian anak akan cakap dalam bidang masing-masing namun juga menjadi amat ahli. Sebagaimana dikatakan oleh para ahli, perkembangan kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh rangsangan musik seperti yang dikatakan Gordon Shaw (1996).

Agar terjadi keseimbangan antara belahan otak kiri dan kanan, keajaiban musik dapat menyehatkan jiwa, menciptakan kegembiraan sebagai pendekatan belajar untuk mengajarkan berhitung, mengajarkan sopan santun dan lain sebagainya, dengan musik siswa dapat menyalurkan emosinya secara positif sehingga dapat mencegah terjadinya tawuran sesama pelajar.

5. Kesimpulan

(1) Musik memberikan rangsangan terhadap jalinan antara neuron, sehingga neuron yang bertautan akan meningkatkan kemampuan matematika dan emosi.

(2) Musik merangsang pikiran.

(3) Musik memperbaiki konsentrasi dan ingatan.

(4) Musik membuat siswa lebih pintar.

(5) Musik meningkatkan aspek kognitif.

(6) Musik membangun kecerdasan emosional.

(7) Siswa yang mendapat pendidikan musik jika kelak dewasa akan menjadi manusia yang berpikiran logis, sekaligus cerdas, kreatif dan mampu mengambil keputusan dan mempunyai empati.

(8) Dengan pendidikan musik, anak memperoleh stimulasi yang seimbang antara belahan otak kiri dan belahan otak kanan, artinya terdapat keseimbangan antara aspek kognitif dan aspek emosi.

6. Saran

1. Kepada para pengambil keputusan agar pendidikan musik menjadi bagian integral materi pelajaran intrakurikuler dari tingkat SD dan SLTP, dan mendapatkan alokasi waktu yang sama dengan mata pelajaran matematika.

2. Seharusnya kurikulum nasional memasukan mata pelajaran musik dalam materi intrakurikuler dilengkapi dengan kegiatan ekstrakurikuler dan tidak terintegrated dengan mata pelajaran kesenian lainnya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi keseimbangan antara aspek intelektual dan emosi yang dapat menghasilkan generasi yang pintar, berbudi luhur dan berbudaya yaitu manusia sehat jasmani dan rohani, mencintai bangsanya dan sesama manusia seperti yang termaktub di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Tuesday, October 7, 2008

Strategi Coping Pengguna Narkotika dan Obat Terlarang

Strategi Coping Pengguna Narkotika dan Obat Terlarang

A. Judul Program

Strategi Coping Pengguna Narkotika dan Obat Terlarang di Kotamadya Surakarta

B. Latar Belakang

Di tengah perkembangan jaman yang semakin maju dan sarat dengan perubahan yang terjadi di segala bidang menuntut manusia untuk selalu berfikir dan berprilaku selaras dengan perkembangan tersebut. Seperti halnya yang terjadi di negara kita, Indonesia tercinta ini yag berniat menyejajarkan diri dengan negara-negara berkembang lain. Untuk menyikapi itu maka Indonesia mengalami era keterbukaan arus informasi dan teknologi yang masuk ke indonesi tidak dapat terbendung lagi.
Perubahan yang terjadi di segala bidang seringkali menimbulkan masalah pada diri generasi muda. Kenyataannya tidak dapat dipungkiri lagi bahwa banyak generasi muda yang mengalami ketergantungan pada obat-obat terlarang atau Narkotika.hal ini merupakan penyebab terjerumusnya mereka kedalam penyalahgunaan Narkotika obat-obatan serta zat-zat adiktif lainnya. Menurut Harianto (1993), yang menjadi penyebab para remaja di Indonesia menggunakan obat-obatan terlarang adalah karena sifat dari remaja yang ingin tau dan ingin mencoba sesuatu yang belum ia ketahui, karena tekanan dari teman sebaya, pertentangan dengan orang tua.
Generasai muda merupakan golongan yang rentang terhadap penyalah gunaan Narkotika dan psikotropika, karena selain memiliki sifat dinamis, energik, selalu ingin tau dan ingin mencoba. Dari berbagai media masa dapat diketahui bahwa mereka yang menggunakan narkoba adalah berasal dari kalangan remaja, mahasiswa dan pelajar serta eksekutif muda seperti dalam pemberitaan beberapa media massa bahwa jumlah pelajar yang terjerat Narkotika dan obat-obatan terlarang semakin besar tiap tahun kebanyakan adalah pelajar SLTA dan SLTP, ini dengan ditunjukkannya daftar hitam sekolah-sekolah yang terjangkiti Narkotika dan obat-obatan terlarang serta berdasarkan survei di lapangan ditemukan fakta bahwa hampir 2000 siswa SLTP dan SLTA Jakarta positif menggunakan Narkotika dan seper limanya adalah pengedar ( Gatra, 24 Februari 2006 ). Dan menyikapi masalah obat-obatan terlarang ini pemerintah berserta aparat keamanan dan masyarakat secara tegas menyatakan perang terhadap para pengedar, pemakai dan semuanya yang terlibat dalam peredaran obat-obatan terlarang ini. Dibentuknya BNN ( Badan Narkotika Nasional ) dan unit Restik ( Reserse Narkotika ) di jajaran kepolisian dan gerakan nasional anti Narkotika sebagai wujud nyata dari sikap tegas tersebut, dibentuknya lembaga-lembaga tersebut untuk mengantisipasi serta memberantas peredaran Narkotika yang menyebabkan dampak meningkatnya kriminalitas sebagai akibat dari pemakaian Narkotika, ini terungkap dalam satu kasus kriminalitas dimana seorang adik tega membunuh kakaknya dengan sebilah pedang hanya gara-gara kakak tidak mau dimintai uang saat adik sedang ketagihan, keduanya warga kramat Jakarta ( Media Indonesia, 27 Mei 2006 ). Berbagai peristiwa diatas sangat meprihatinkan kita semua. Bersamaan dengan hal ini maka berdirilah lembaga rehabilitasi Narkotika yang bertujuan membina dan menyembuhkan para korban obat-obatan terlarang. Dalam proses rehabilitasi Narkotika itu semua dikembaliakan kepada para korban Narkotika, apakah memiliki keinginan untuk sembuh dan hidup normal kembali atau sebaliknya. Dalam hal ini akan kelihatan adanya kemampuan individu dalam menghadapi masalah, tekanan dan tantangan yang dihadapi yang oleh Lazarus (1976) disebut sebagai Coping behaviour yang disebut juga strategi Coping.
Secara umum Coping diatikan sebagai tuntutan baik eksternal maupun internal yang timbul akibat situasi yang mengancam. Strategi Coping tidak hanya meliputi bentuk-bentuk dorongan dan cara-cara menghadapi masalah yang tidak realistis dan diluar kesadaran individu. Mulai dari bentuk usaha dalam menghadapi masalah-masalah secara positif, patologis dan tidak evektif. Meraka dapat menggunakan strategi mana yang dianggap paling sesuai dengan masalah yang ada. Menurut Lazarus (1976) Coping dibedakan atas dua bentuk yaitu bentuk direck action dan bentuk palliation. Direck action atau tingkah laku langsung adalah mengatasi masalah dengan cara melakukan sesuatu untuk menghadapi masalah, sedang pallition adalah tingkah laku pertahanan diri yang disebut defense mechanism atau bentuk defensif.

C. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengapa para pengguna Narkotika dan obat-obat terlarang melakukan strategi Coping ?
2. Bagaimana jenis-jenis masalah strategi Coping yang dilakukan oleh pengguna Narkotika dan obat-obatan terlarang ?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi strategi Coping pada pengguna Narkotika dan obat terlarang ?

D. Tujuan Program
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan pengguna Narkotika dan obat-obatan terlarang yang melakukan strategi Coping.
2. Mengetahui jenis-jenis strategi Coping yang dilakukan oleh pengguna Narkotika dan obat-obatan terlarang.
3. Mencari faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi strategi Coping tersebut.


E. Luaran Yang Diharapkan
Luaran yang diharapakan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk strategi Coping yang digunakan pengguna Narkotika dan obat-obat terlarang, beserta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi strategi Coping tersebut. Memberikan informasi kepada lembaga rehabilitasi Narkotika dan obat-obatan terlarang dalam meningkatkan kualitas dalam pembinaan.

F. Kegunaan Program
1. Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga rehabilitasi Narkotika dan obat-obatan terlarang dalam meningkatkan kualitas pembinaan maupun kuantitasnya.
2. Untuk mencari titik temu antara ilmu pengetahuan yang bersifat teori dengan kenyataan yang ada di lapangan.
3. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penyusun khususnya dan masyarakat pada umumnya, yang berkaitan dengan obat-obatan terlarang.

G. Tinjuan Pustaka
A. Strategi Coping
1. Pengertian srategi coping
Menurut Roter (Anwar, 1993) bagaimana idividu menilai situasi yang dihadapi dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian. Selanjutnya dimisalkan bahwa individu dengan pusat pengendali internal akan cenderung menghadapi situasi yang bersumber pada dirinya sendiri. Sebaliknya individu dengan pusat pengendali ekternal akan cenderung menganggap bahwa setiap keadaan yang dihadapi sebagai akibat dari luar dirinya. Semakin kabur informasi yang diterima mengenai suatu hal, akan semakin jelas pengaruh karakteristik kepribadian terhadap penilaian individu pada situasi yang dihadapi. Ada dua penilaian yang mendahului munculnya strategi individu yaitu penilaian primer dan penilaian sekunder. Melalui penilaian primer, individu akan menilai tingkat ancaman permasalahan terhadap dirinya. Dalam penilaian sekunder, individu akan menilai potensi dirinya untuk menghadapi masalah yang dinilai mengancam dirinya. Selanjutnya individu akan memunculkan suatu strategi tertentu untuk mengatasi masalah tersebut. Menurut Pestonjee (1992), coping memiliki tiga efek, yaitu secara psikis, sosial dan fisik, adapun secara psikis, coping memberikan efek pada kekuatan psikis (perasaan tentang konsep diri dan kehidupan), reaksi emosi, tingkat depresi atau kecemasan, atau keseimbangan antara perasaan yang positif atau negatif. Sedangkan secara sosial coping memberikan pengaruh pada fungsi seperti keberadaan di dalam lingkungan dan sosialisasi serta hubungan interpersonal, secara fisik dampak coping tidak terlalu besar yaitu sekitar perkembangan dan kemajuan suatu penyakit.
Newman (1997), mengaitkan coping dengan tahap-tahap perkembangan. Mereka berpendapat bahwa coping tidak hanya mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi ancaman, akan tetapi coping dapat dimengerti sebagai tingkah laku yang mengikuti perkembangan dan pertumbuhan individu. Disini ada pandangan bahwa tingkah laku coping sebagai usaha yang aktif untuk menghadapi stress dan membuat solusi-solusi baru guna menghadapi tantangan dari tiap-tiap tahap perkembangan dan konfrontasi antara individu dengan lingkungan yang dihadapi sebagai komponen paling penting dalam coping.



2. Jenis-jenis strategi coping
Pada dasarnya strategi coping untuk mengatur stress dapat dimasukan dalam dua dimensi umum yang terpisah satu sama lain, yaitu:
a. Maninfestasi coping. Maninfestasi coping dimana cara coping dapat dibagi menjadi strategi kognitif dan behavioural. Teknik coping kognitif adalah percobaan intrapsikis untuk menghadapi situasi stess dan konsekuensinya, sedangkan coping behavioural terjadi dari tindakan-tindakan nyata untuk mengatasi stress.
b. Fokus coping. Fokus coping dapat dibadakan menurut sasaran dari strategi coping, yaitu coping yang difokuskan pada problem dan coping yang difokuskan pada emosi. Coping yang difokuskan pada problem terutama dilakukan untuk memodifikasi hubungan antar situasi dan person, yang menimbulkan stress. Fokus emosi meliputi usaha untuk mengatur gangguan emosi yang disebabkan oleh stressor. fungsi tingkah laku dibedakan menjadi dua yaitu coping tepusat pada masalah (Problem Focused Coping/PFC) dan terpusat pada emosi (Emotion Focused Coping/EFC).PFC adalah usaha untuk mengurangi stress yang dirasakannya dengan mengahadapi masalah yang menimbulkannya secara langsung, sedangkan EFC adalah usaha individu untuk mengurangi stress dengan cara mempertimbangkan masalah afeksinya (Folkman dan Lazarus, 1985).
Lazarus dan Folkman (dalam Aldwin dan Revenson, 1987), mengemukakan bahwa coping terdiri dari strategi yang bersifat kognitif dan behavioural. Strategi tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu strategi yang digunakan untuk mengatasi situasi yang menimbulkan stress (problem focused coping) dan strategi coping untuk mengatasi emosi negatif yang menyertainya (emotion focused coping).
Menurut Billing dan Moos ( dalam Robiah, 1999), serta Pearlin dan Schooler (1978) strategi coping yang termasuk dalam problem focused coping dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Information seeking (pencarian informasi) yang meliputi usaha untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan masalah yang ada serta orang lain yang dapat bertukar pikiran dan membantu menyelesaikan masalah.
b. Problem solving (pemecahan masalah), yang meliputi usaha untuk memikirkan dan mempertahankan alternatif penyelesaian masalah yang mungkin dilakukan dengan atau melakukan tindakan tertentu yang lebih tertuju pada cara-cara penyelesaian masalah langsung.
Aldwin dan Reveson (1987), mengemukakan tiga macam strategi coping yang termasuk dalam problem focused coping yaitu:
a. Controlless (kahati-hatian), yaitu individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa aternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan orang lain tentang masalah yang dihadapinya, bersikap kehati-hatian sebelum melakukan sesuatu.
b. Instrumental action (tindakan instrumental), yang meliputi tindakan individu yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun langkah-langkah apa yang akan dilakukan.
c. Negotiation (negosiasi) yaitu usaha-usaha yang ditunjukkan kepada orang lain yang terlibat atau menjadi penyebab masalah yang dihadapinya untuk ikut serta memikirkannya atau menyelasaikan masalahnya.


3. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping
Setiap orang akan mereaksi situasi yang sama dalam bentuk yang berbeda-beda dan dengan beberapa cara. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping antara lain:
a. Jenis kelamin.
b. Umur dan perkembangan.
c. Tingkat pendidikan.
d. Stress dan kecamasan.
e. Situasi.
f. Persepsi, Intelektual dan kesehatan.
g. Situasi sosial ekonomi
Handayani (2000), dalam sekripsi kesarjanaannya menambahkan pula faktor-faktor yang berperan dalam strategi menghadapi masalah, antara lain:
a. Konflik dan stress.
b. Jenis pekerjaan.

B. Pengguna Narkotika Dan Obat Terlarang
1. Pengertian Pengguna Narkotika Dan Obat Terlarang
Yang dimaksud dengan pengguna Narkotika dan obat terlarang adalah pemakai narkoba secara tetap dan bukan untuk tujuan pengobatan atau digunakan tanpa mengikuti aturan takaran yang seharusnya (Yatim dalam Hawari, 1996). Menurut Joewono (1996), pengguna Narkotika dan obat terlarng adalah individu yang menggunakan Narkotika dan obat terlarang dalam jumlah berlebihan, secara berkala atau terus menerus berlangsung cukup lama sehingga dapat merugikan kesehatan jasmani, mental dan kehidupan sosial.
Menurut Simanjuntak (1996) dalam mencari sebab timbulnya perbuatan jahat, sebab yang tunggal atau unilateral pada dasarnya tidak ada, sebab-sebab itu beraneka ragam satu sama lain berkaitan. Secara garis besar sebab yang menimbulkan perbuatan jahat individu terletak dalam dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Menurut Hawari (1996) pengguna Narkotika dan obat terlarang adalah individu yang mengalami gangguan jiwa yaitu gangguan kepribadian, kecemasan dan depresi, sedangkan penyalahgunaan Narkotika dan obat terlarang merupakan perkembangan lebih lanjut dari gangguan jiwa tersebut.

2. faktor-faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan narkoba
Faktor Intern
1. Personalitiy (kepribadian)
2. Intelegensi Quotient (IQ)
3. Kedudukan individu dalam keluarga
Faktor Extern
1. Lingkungan keluarga
2. Dishasmonisasi keluarga
3. Kurang pendidikan agama

3. Narkotika Dan Obat Terlarang
Narkotika dan obat terlarang yamg dilarang penyalahgunaannya oleh hukum dan pemerintah karena merugikan kesahatan serta memicu tingginya angka kriminalitas, antara lain:
a. Ecstasy
b. Heroin dan Opiat
c. Kokain
d. Amfetamin dan stimulasi lainnya
e. Kannabis
f. LSD (Lysergic Acid Dietthllamide)
g. Hipnasedatif
h. Minor Traquilliser

4. Dampak Penyalahgunaan Obat Terlarang
Berbagai dampak atau akibat yang ditimbulkan sebagai akibat dari penyalahgunaan Narkotika dan obat terlarang menurut Hawari (1996) antara lain:
a. ketergantungan fisik/jasmaniah (physical dependence) adalah suatu lama. keadaan yang ditandai oleh gangguan jasmaniah yang hebat apabila pemberian suatu obat dihentikan, keadaan ini timbul sebagai akibat hasil penyesuaian diri terhadap adanya obat dalam tubuh secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup
b. Keutungan psikis/psikologis (psychological dependence) adalah suatu keadaan dimana suatu obat menimbulkan perasaan puas dan nikmat sehingga mendorong seseorang untuk memakai lagi secara terus menerus atau secara berkala sehingga diperoleh kesenangan/kepuasan.
Tanda-tanda umum orang yang menyalahgunakaan obat-obat terlarang antara lain:
a. Perubahan dalam sikap, perangai dan kepribadian.
b. Sering membolos, menurunkan disiplin dan nilai-nilai pelajaran
c. Menjadi mudah tersinggung, suka marah-marah sering menguap dan mengantuk, malas, tidak mempedulikan hygiene dan lain-lain
d. Suka mencuri yang dimulai dengan barang-barang kecil untuk membiayai obat-obat terlarang
e. Selalu memakai baju lengan panjang untuk menyembunyikan luka suntikan pada lengannya dan suka memakai kaca mata hitam untuk menyembunyikan perubahan wajah/ekspresi atau menghilangi/melindungi sinar tajam pada pupil matanya akibat penyalahgunaan obat-obat terlarang.
H. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah diskriftif kuallitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku dari orang-orang yang diamati (Moleong, 1990:3)
2. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah apa yang menjadi perhatian suatu penelitian (arikunto, 1988: 99). Objek penelitian ini adalah pengguna Narkotika dan obat-obat terlarang yang berdomisili di Kotamadya Surakarta dan sekitarnya.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Kotamadya Surakarta, Propinsi Jawa Tengah.
4. Sumber Data Dan Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah mengambil sampel sebanyak empat orang, karena sudah dianggap bahwa sampel sejumlah itu sudah mewakili komunitas pengguna Narkotika dan obat-obatan terlarang. Sampel sejumlah empat orang dimana subjek penelitian adalah sebagai berikut:
a. Usia 20-25 tahun
b. Pria
c. Pendidikan minimal SMA
d. Berdomisili di Kotamadya Surakarta dan sekitarnya
5. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara terstruktur, kuesioner, dan observasi partisipan. Wawancara tersruktur adalah wawancara yang mengungkapkan motivasi, maksud atau penjelasan dari responden (Moelong, 1989:153). Kuesioner adalah metode pengumpulan data yang berbentuk pertanyaan yang harus dijawab atau diisi oleh responden dibawah pengawasan peneliti (Busono, 1988:74). Adapun observasi partisipan adalah metode penelitian untuk mengumpulkan data yang dicirikan adanya interaksi sosial antara peneliti dengan yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis isi (content analysis) yaitu telaah sistematis atau catatan-catatan atau dokumen sebagai sumber data (Faisal, 1982:133).
7. Teknik Penyajian Data
Teknik penyajian data dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian informal. Metode penyajian informal merupakan metode penyajian data berupa perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).

I. Jadwal Penelitian

Jenis kegiatan Tahun 2007/2008
Oktober November Desember Januari
Tahap persiapan
a. Studi Pustaka
b. Survei Awal
X

X
Tahap Penelitian
a. Penyedian Data
b. Klasifikasi Data
c. Analisis Data
X
X
X


Tahap Penyusunan
a. Penulisan Laporan
b. Penyerahan Laporan
X
X

J. Nama dan Biodata Dosen Pembimbing

1. Nama :
2. NIP/NIS/NPP/NIK :
3. Status Dosen :
4. Tempat / Tgl. Lahir :
5. Jenis Kelamin :
6. Pangkat/ Golongan :
7. Jabatan Struktural :
8. Jabatan Akademik :
9. Pendidikan Tinggi :
10. Alamat :

K. Jurtifikasi Anggaran
a. Peralatan
No Nama Alat Satuan Volum Harga Sastuan Jumlah(Rp)
1. Sewa Kumputer dan Printer Minggu 2 300.000 300.000
2. Biaya Lstrik - - - 350.000
3. Flasdisk Buah 2 150.000 300.000
Total Anggaran 950.000


b. Makalah

No Uraian Satuan Volume Harga satuan Jumlah(Rp)
1. Pembuatan Proposal Eksemplar 5 100.000 500.000
2. Pengetikan Laporan Lembar 30 1500 45.000
3. Pneggandaan Laporan Eksemplar 5 70000 350.000
4. Penjilitan Laporan Eksemplar 5 30.000 150.000
Total Anggaran 1.045.000



c. Bahan Habis Pakai

No Nama Barang Satuan Volume Harga Satuan Jumlah(Rp)
1. Kartu Data Pak 2 80.000 160.000
2. Pembelian Buku Buah 4 100.000 400.000
3. Kertas HVS Rem 3 60.000 180.000
4. Tinta Print Buah 3 100.000 300.000
5. Film dan cuci cetak Rol 1 100.000 100.000
6. Vocer Pulsa Buah 4 200.000 800.000
Total Anggaran 1.940.000


d. Trasportasi

No Nama Barang Satuan Volume Harga Satuan Jumlah(Rp)
1 Trasportasi Lokal(Solo) Orang 3 600.000 1.800.000
Total Anggaran 1.800.000


Biaya Keseluruhan : Rp 5.735.000,00

Daftar Pustaka

Astuti, F. D.2001. Hubungan Antara Asertivitas dengan Prestasi Kerja Karyawan. Skipsi (Tidak diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi UMS.
Darwin, F. W. 1990. Pemilihan Strategi Coping Berdasarkan tipe Kepribadian A dan B, Locus Of Control Serta Tingkat Intensivitas Stess. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Darojat , Z . 1977 . Makalah . ecstasy dan Permasalahannya , Yogyakarta . Srawung ilmiah IKIP Hlm. 1
Haryanto , 1993, Terapi Korban Penyalah Gunaan Narkotika dengan Pendekatan Agama (studi kasus di pondok pesantren surabaya). Laporan Penelitian Fakultas Psikologi UGM . Yogyakarta.
Hawari , D . 1996. Al-Quran : Ilmu Kedokteran dan Kesehatan jiwa. Yogyakarta.
Istono , M . 1999. Hubungan Antara Tipe Kepribadian hardinass dan Kecenderungan Menggunakan Program Focussed Coping Pada Wiraniaga. Skripsi (tidak di terbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Joewono ,s . 1976. Gangguan penggunaan Zat . Jakarta : Gramedia.
Kusumawardani , R . A .1998. Perbedaan Strategi Coping Dilihat Dari tingkat pendidikan dan Peran Jenis kelamin. Skripsi. Surakarta : Fakultas Psikologi UMS
Lazarus , R, S . 1976. Pattern Of Adjusment. New York : MC Gronce Hill.
Lincoln , Y . S , And Egon, G.G.1985. Naturalistic Inquiry Beverly Hills : Sage Publication.
Mursidi,A . 1996. Makalah Ecstasy dan Permasalahannya. Yogyakarta : Srawing Ilmiah IKIP.
Moleong, L . J . 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung : Remaja Rusda Karya.
Nasution , S . 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Pearlin , L , A , and Schooler,C.1987. The Structure Of Coping. Journal of Health and Social Behaviour . 2, No.19. P : 2-21.
Pestonjee , DM. 1992. Stress and Coping (The indian experience). New Delhi : Sage Publication India Pvt. Ltd.
Robi’ah , N . 1992. Hubungan Antara Lingkungan Pergaulan dan Penyesuaian Diri dengan Strategi Coping pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan) Surakarta : Fakultas Psikologi UMS.
Simanjuntak ,B . 1984. Latar Belakang Kenakalan Remaja . Bandung : Alumni.
Sasmita , R . A.1983. Problema Kenakalan Anak-anak Remaja. Bandung : Armicio.
Zamindari , V . 1999. Hubungan Antara Efikasi diri dengan Focused Coping dalam Menghadapi Masalah. Skripsi (tidak diterbitkan).Yogyakarta : Fakultas psikologi UGM.
Widodo , E dan Mukhtar.2000. Kontruksi ke arah Penelitian Deskriptif. Yogyakarta : anyrous.
Gatra , Mayoritas Pemakai Narkoba Murid SLTP dan SLTA : 24 Februari 2006.
Media Indonesia , Tragedi Pembunuhan Gara-gara Narkoba : 21 Mei 2006.